Sabtu, 09 Juli 2011

For Share: Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta

For Share: Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta: "Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta Seperti biasanya, dari kepenatan aktivitas sehari-hari yang terkadang menjenuhkan, facebook atau lebih ..."

For Share: Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta

For Share: Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta

Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta

Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta

Seperti biasanya, dari kepenatan aktivitas sehari-hari yang terkadang menjenuhkan, facebook atau lebih populer dg FB menjadi satu-satunya jurus ampuh mengembalikan mood-ku yang “amburadul”. Ya, di-FB, aku bisa membaca segala bentuk ekspersi hati dari yang berbunga-bunga hingga yang mengharu biru, dari cerita tentang tetek bengek di kampus, dosen yang killer, tugas menumpuk, deadline, sesekali pula bertutur soal gossip yang lagi hot antar teman kos. Selebihnya, tak henti-hentinya, persoalan cinta memenuhi beranda FB.
Pagi itu, ketika membuka FB, aku temukan satu pesan masuk, yang juga meminta konfirmasi untuk menjadi temanku. Mat Artil, begitu nama tertera yang bisa ku baca. Bukan nama asli tentunya, tapi aku seperti mengenal sosok lelaki itu. Sosok yang indah dipandang mata. Cukup lumayan ganteng! Pikirku.
“Win, nak balik kampong ta?? Elok sangat dirimu sekarang!”  begitu lelaki itu mengawali perbincangan kami. Biasa-biasa saja sebenarnya. Dari bahasa yang digunakan, aku pun bisa memahami bahasa yang digunakannya. Bahasa melayu yang dicampur dengan bahasa jawa. Bahasa yang biasa digunakan oleh tetanggaku, kerabatku bahkan orang tuaku yang baru pulang di negeri seberang, menjadi pahlawan devisa alias Tenaga Kerja Indonesia.
Setelah mengkonfirmasi dan mencoba mengingat-ingat lelaki itu. Sebuah bayangan memori muncul. Ingatanku kembali pada beberapa tahun silam, sewaktu aku masih duduk di bangku SMA, lelaki itu pernah bertandang ke rumahku, menemui kakakku. Ya, ku ingat! Dia adalah lelaki yang sama, adik dari suami sepupuku, adik kak Rusli. Tapi aku sedikit ragu, dan ingin memastikannya.
“Siapa? Adik kak Rusli ya?” tanyaku meragu. Mencoba meyakinkan pengelihatan dan ingatanku bahwa lelaki memang benar-benar sosok yang aku kenal, sekalipun aku belum melihatnya lagi secara nyata.
“Ya, kok bisa tahu? Mirip ya? Begitu dia akhirnya meyakinkan keraguanku.
“He’em”, jawabku singkat.
Setelah saling berbalas pesan, komunikasiku dengannya terus berlanjut. Dari pertanyaannya tentang statusku, apakah telah memiliki kekasih sampai jurus andalannya, rayuan maut, bahwa suatu keberuntungan orang yang bisa menjadikanku sebagai istri.
Melihat beberapa pesannya, kadang membuatku terdiam sendiri, sementara aku tetap menelusuri tiap-tiap kata lelaki itu, suatu kali bahkan kedengarannya sangat indah. Tapi kuputuskan untuk jujur pada dirinya dan diriku sendiri bahwa aku telah memiliki seorang kekasih yang aku jalani dengan serius. Walau dengan kejujuran itu, lelaki itu tetap tak bergeming dan terus saja meneruskan usahanya untuk bisa dekat denganku serta niatnya untuk memiliki hatiku.
“Aku merasa sudah benar-benar jatuh cinta padamu, Win!” serunya pada pesan berikutnya.
“Kamu bisa saja!” pekikku. “Aku menghargai perasaanmu, tapi engkau pun tahu bahwa aku telah mencintai seseorang dan menjadikannya sebagai kekasihku.”
“Aku tahu, tapi tak adakah kesempatan bagiku walau hanya sedikit”, lanjutnya.
“Tentu ada, tapi hanya sebatas sebagai teman saja, maaf!”
“Aku tetap akan menunggumu” tulis lelaki itu tetap tak mau mengerti.
Ketika itu aku kehabisan akal untuk memberinya pengertian tentang suatu relasi hubunganku dengannya, yang hanya sebatas teman. Akan tetapi, tetap saja lelaki itu tak peduli, bahkan acapkali mengodaku dengan pesannya dari ‘I love you’, ‘I miss you sampai perhatian-perhatian yang dirangkai dalam kata-kata cantik, yang akhirnya kurespon dengan joke-joke saja.
Meski aku belum mengerti dengan jalan pikiran lelaki itu. Pada dasarnya, kedekatanku dengan lelaki itu hanya secara kata-kata di-incoming message FB-ku saja. Sebisa mungkin, aku tetap mengindahkan kata dan menghormatinya, sebab baik aku maupun kekasihku-yang sudah mengetahui perihal lelaki ini- menyadari bahwa lelaki itu adalah adik ipar dari sepupuku, yang tentunya masih kerabat  jauh. Aku sendiri tak menginginkan hubunganku dengan lelaki itu berubah menjadi hubungan permusuhan, yang berimbas rusaknya hubungan baikku dengan keluarga suami sepupuku, akibat dari ketidaksopanan kata-kataku padanya. Aku hanya ingin memberinya pengertian dengan santun. Selain itu, siapa tahu akan terjadi relasi bisnis sebab ia salah satu dari tenaga kerja Indonesia yang sukses dengan usahanya mengikuti bisnis multi level marketing di sana.
Sekali waktu, aku coba memberanikan diri menanyakan siapa kekasihnya. Siapa tahu, kita bisa share tentang hubungan masing-masing, yang selalu dijawabnya dengan kalimat, “tidak punya” (huh!). Entahlah, aku tidak begitu percaya dengan jawabannya. Melihat tampangnya yang cukup menarik dan pintar bermain kata, tentu dia bukan lelaki yang sedang men-jomblo. Apalagi hubunganku dengannya hanya via message di-FB saja, yang cuma mengandalkan kepandaian mengolah kata-kata. Dengan kata-kata dia bisa jadi apa saja. Coba, dia bisa saja mengaku seorang penguasa, psikolog, bahkan pura-pura jadi jomblo sejati…hahaha!.
Sinting! Pikirku. Sebenarnya, tak ada enaknya berkomunikasi dengan orang yang tak kita kenali secara fisik, bahkan perasaan kita sampai termakan cuma lewat relasi kata-kata yang kemungkinan ngedobos (membual atau omong kosong)!.  Walau terkadang katanya ada yang benar-benar  jujur juga, tetapi bagiku tetap sedikit aneh menjalin relasi dengan awal dan media seperti ini.
Setelah beberapa hari tidak on-line, pagi-pagi sekali aku menyalahkan laptop dan membuka www.facebook.com,  mengetik user ID pada kolom yang tersedia, lalu password, enter. Wuss…wuss… ada new message pada inbok-ku, ketika kuklik, ternyata dari Mat Artil, lelaki itu lagi, “Besok lusa, aku pulang ke Indonesia, bisakah kita jalan-jalan ke pasir putih?” tulisnya.  
Rumahku memang cukup dekat dengan pasir putih Dalegan Gersik. Tempat rekreasi sekaligus tempat nongkrong anak muda, terutama para sejoli yang sedang memadu kasih. “Waduh! Belum juga mengenalku, sudah mau ngajak nge-date segala”, gerutuku. Bagaimana pun aku tak mau dia berpikir lain, ketika aku meng-iya-kan ajakannya, oleh sebab itu aku berusaha menolak ajakannya sesantun mungkin, yang tak menyinggung tentunya.
“Maaf, bukannya aku tak mau pergi bersamamu, akan tetapi terlalu aneh bagiku bepergian dengan seseorang yang baru aku kenal beberapa hari, kau belum mengenalku, begitu pun sebaliknya, sekalipun kau masih kerabat jauh. Jadi, bagaimana kalau lain kali saja..bla..bla…bla”. Celotehku panjang lebar.
“Tetap saja kita harus bertemu” pintanya.
Bertemu? Aku terperangkap angan itu. Siapkah aku? Aku terlanjut terperangkap pada hubungan dunia maya, walau bukan mustahil hubunganku dengannya menjadi wujud yang nyata. Tapi jika kemudian dengan bertemu, relasi ini justru burai, lerai, tak lagi membentuk wujud komunikasi yang indah. Ih, aku menggidik sendiri.
“Lihat nanti saja ya” jawabku penuh keraguan.
“Apakah kau malu pergi denganku yang tak pernah men-jamah bangku kuliah?, tak sederajat denganmu”, tulisnya lagi.
Inilah yang sungguh kutakutkan, prasangka yang berlebihan. Memang di desaku, kuliah adalah menjadi sesuatu yang langka dan tak murah. Tak banyak pemuda-pemudi yang mengenyam bangku kuliah. Karena terlalu besarnya biaya pendidikan, kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk bekerja, baik itu ke luar kota bahkan keluar negeri.
“Bukan begitu, tak ada kasta di mata Tuhan, hanya saja aku takut menimbulkan fitnah, apalagi aku sekarang sedang serius dengan seseorang. Kalau kau berkenan bagaimana kalau kita mengobrol santai di rumah sepupuku, ketika kamu ada kesempatan main ke rumah mbak iparmu, lebih aman dan tentu terjauh dari prasangka negatif, mungkin juga kita bisa menjadi teman yang baik”, aku mencoba dengan tulus meyakinkannya.
“Okelah kalau begitu, kita bertemu di rumah mbak iparku saja”, begitu akhirnya dia mengiyakan keinginanku.
Hari kedatangannya pun datang. Sebenarnya selain niat memberi penjelasan tentang relasi kami berdua, aku juga cukup penasaran dengan dirinya, yang seolah-olah getol  sekali mengincarku, hingga sempat sedikit mengoyah keteguhanku akan sebuah kesetian. Tapi di hari itu juga, tanpa aku sengaja, ketika samar-samar aku mendengar tanteku bercerita tentang adik ipar sepupuku yang datang dari Malaysia bersama istrinya, yang telah ia nikahi di malaysia. Duarr! Kaget sekali aku mendengarnya. Pura-pura tak tahu apa-apa, aku bertanya, “Memang siapa yang pulang dengan membawa istrinya te?”.
“Ituloh adik ipar sepupumu yang ada di desa Tirem, Muslihun”,  ujarnya.
“Muslihun?” tanyaku lagi.
“Iya”, jawabnya menegaskan.
Ups! Mungkin aku kena sindrom altruisme[1] semu, sehingga kenalan dan ngobrol beberapa kali dengan seorang lelaki, tapi lupa menanyakan nama aslinya. Sedikit menertawakan kekonyolanku sendiri, aku juga merasa jengkel sekaligus marah mendengar kabar tentang statusnya. Kemarahanku ini, bukan karena ia mengecewakanku atau aku telah mengharapkannya, tetapi tentu saja karena lelaki itu telah membohongiku  serta melecehkanku. Mengingat dia yang masih kerabat denganku, maka kemarahanku juga tak terbendung, banyak pikiran-pikiran yang berkejaran di otakku. Bagaimana kalau istrinya tahu? Bagaimana kalau ada keluarga yang mengetahui tingkah lakunya tersebut? Tentu cukup memberi alasan pertengkaran antar keluarga. Ingin rasanya, aku me-labrak-nya secara langsung. Akan tetapi, niat itu aku urungkan. Ya, gengsi juga kalau ku marah-marah padanya, takutnya, nanti diriku dianggap menyukainya, tentu hal tersebut makin meninggikan pesona dan percaya dirinya. Akhirnya, aku tunggu dia berkirim message dulu dan menanyakannya secara perlahan perihal berita itu.
Massage yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. “Win, aku sekarang sudah di rumah. Kapan kita bisa bertemu?”, begitu bunyi massage itu.
“Heem, kapan ya?, kalau boleh tahu, siapa si sebenarnya namamu?”, tanyaku tanpa pedulikan pertanyaannya.
“Mohammad Muslihun”.
“Memang kenapa win?”, tanyanya balik.
“Gak apa-apa, pingin tahu saja, masak ngobrol selama beberapa hari kok tidak tahu nama aslinya”, kataku sedikit berbohong. “Sit!! Ternyata memang benar dia orang yang dibicarakan tanteku”, gumamku dalam hati.
“Oh, kirain kenapa?”, balasnya lagi.
“Dengar-dengar, katanya kamu pulang ke kampung membawa istri ya? Boleh kenalan gak?”, tanyaku kembali.
“Wust! Ngawur!” lelaki itu membalas dengan sengit, “Kata siapa? Berita bohong itu”, kelitnya.
“Kapan kita bertemu?”, Tanyanya kembali, sebelum aku sempat membalas pesan terakhirnya.
“Gak tahu!”, tulisku singkat.
Percakapan hari itu pun berhenti di situ. Aku mulai sedikit malas meladeninya. Aku juga takut dianggap wanita nakal, berkirim pesan dengan suami orang.
Keesokan harinya, aku mendengar berita yang sama seperti yang pernah aku dengar dari tanteku. Kali ini, tidak hanya dari tanteku, bahkan berita perihal pernikahan lelaki itu dengan orang Batam, aku dengar secara langsung dari sepupuku dan suaminya yang lagi asik memperbincangkan hal tersebut. Setelah mendengar itu, maka tidak ada keraguan lagi bagiku untuk tidak mempercayai berita itu. Melalui saran dari kekasihku juga, yang sudah aku ceritakan perihal berita itu, menyarankanku  untuk tak usah merasa tidak enak lagi kalau harus menolaknya secara blak-blakan tanpa harus mengindahkan kata-kata ataupun bersopan-santun ria.  Tetapi akan, tetap saja aku menunggu pesannya datang terlebih dahulu.
“Win, bagaimana? Kapan kita jadi bertemu?”, begitu pesan itu tertulis.
“Maaf, aku takut kalau harus ketemuan dengan suami orang, entar malah jadi berabe”, jawabku.
“Kata siapa aku sudah beristri? Jangan ngawur! Jadi ketemuan kan?”, kelitnya sekaligus bertanya tentang pertemuan kita lagi.
“Kak Rusli, kakak kandungmu” tegasku. “Maaf aku tak bisa kalau harus ketemuan dengan istri orang, takutt!!”.
Kali ini, mungkin dia sudah tak bisa berkutik lagi, maka dia pun membalas pesanku dengan singkat, “Yowes kalau gak gelem (ya sudah kalau tidak mau)”.
Begitulah pesan terakhirnya, mengunjungi inbok FB-ku, yang tak terpahami, termengerti, kecuali aku mencoba menerima silaturrahminya demikian, cuma demikian.
Dan ketika segala kabar melalui pesan-pesan yang dia kirimkan benar-benar lenyap. Aku merasa lega, tidak lagi bermain-main dengan seseorang yang diam-diam meracuni inderaku untuk masuk, larut ke dalam relasi kata-katanya. Sudahlah, sekarang dia hanya teman di FB, yang statusnya hanya numpang mampir di berandaku saja.
Dari kejadian itu, ku sadari dua hal perihal cinta dan berada dalam cinta. Adanya perbedaan yang mendasar antara “love” dan “to be in love”. Cinta bisa diilustrasikan seperti buah-buahan segala musim, setiap orang dapat memetiknya kapan saja, secara tidak terbatas. Mungkin inilah yang sedang dialami lelaki itu. Tapi, “berada dalam cinta” adalah sebuah tindakan yang memerlukan komitmen antara dua pihak yang saling mencinta, tanpa paksaan dan rekayasa. So seseorang bisa saja mengatakan kepadamu “ I love you but I can’t in love you”. Sebaliknya, demikian juga kamu bisa mengatakannya kepada seseorang. Walau pun tak mungkin kau berada dalam cinta. Ya, mungkin dia sempat mengodaku dengan membawa ungkapan-ungkapan cinta yang indah, akan tetapi tentu saja, aku tak mungkin berada dalam cinta bersamanya, selain karena tak ada komitmen yang saling mencinta, masing-masing dari kita telah memiliki orang yang mencintai dan yang kita cintai.


 


[1]Paham yang menitik beratkan kehidupan manusia pada empati atau perhatian kepada orang lain.

Kamis, 31 Maret 2011

Kajian Tafsir Tematik 1


AL-QUR’A>N SEBAGAI RU>H
(Kajian Tafsir Tematik tentang al-Qur’a>n sebagai World View)
                                                  Oleh: Wie_Aira

Pendahuluan
Ru>h dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, wahyu, malaikat, perintah dan rahmat.[1] Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kata ruhaniyyun digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti: malaikat dan jin.[2]
Terdapat 19 ayat yang menyebut kata “ru>h” dalam al-Qura>n. al-Qur'a>n sendiri, antara lain, menggunakan kata ru>h untuk menunjukkan makna malaikat (QS. al-Syu'ara>' [26]: 193), (QS. al-Baqarah [2]: 253),  (QS. al-Qadr [97]:4), (QS. al-Naba>’ [78]: 38),  (QS. al-Isra>’ [17]: 85), (QS. al-Ma’a>rij [70]: 4), rahmat Allah (QS. al-Muja>dalah [58]: 22), (QS. al-Wa>qi’ah [56]: 89), (QS. Yu>suf [12]: 87),  proses peniupan ruh pada ke dalam tubuh manusia (QS. al-Sha>ffa>t [37]: 7-9),  (QS. al-Anbiya>’ [21]: 91), (QS. al-Sajadah [32]: 9), (QS. al-H{ijr [15]: 29), (QS. S{a>d [38]: 72), dan dalam konteks ru>h yang memiliki pengertian wahyu, terdapat tiga ayat yang membahasnya, yaitu (QS. Al-Mu’min [40]: 15), (QS. al-Shu>ra> [42]: 52), dan (QS. al-Nah{l [16]: 2.
Mengenai penamaan Al-Qura>n dengan ru>h bukan kebetulan dan tanpa hikmah, seperti juga nama dan sifat lain yang dimiliki oleh al-Qura>n yang mencerminkan fungsi dan perannya yang komprehensif dan universal. Ibn Qutaibah, dalam Ta’wi>l Mushkil al-al-Qur’a>n, menyatakan bahwa firman Allah dinamakan ru>h karena dapat menyelamatkan dari kebodohan dan mematikan kekufuran.[3] Oleh karenanya, betapa hanya al-Qura>n yang bisa diandalkan menyelesaikan masalah kemanusiaan dalam segala bentuknya. Tulisan ini mencoba menginterpretasikan bagaimana al-Qur’a>n sebagai ru>h (world view) dalam kehidupan manusia.

al-Qur’a>n Sebagai Ru>h (World View)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam konteks ru>h yang memiliki pengertian wahyu, terdapat tiga ayat yang membahasnya, yang penulis sesuaikan dengan urutan masa turun ayat, maka sistematika urutan ayat tersebut yaitu (QS. al-Mu’min [40]: 15), (QS. al-Shu>ra> [42]: 52), dan (QS. Al-Nah{l [16]: 2. Adapun setelah mencermati berbagai kaidah dan keumuman dan kekhususan lafad yang dibahas, maka penulis men-sistematiskan ayat yang dibahas dalam tulisan ini dengan urutan: 1) (QS. al-Mu’min [40]: 15), 2) (QS. al-Nah{l [16]: 2), dan 3) (QS. al-Shu>ra> [42]: 52), sebagai berikut:
Surat al-Mu’min ayat 15
رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِ  
“(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, yang mempunyai 'Arsh, yang memberi ruh dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari Pertemuan (hari kiamat).”

Surat Al-Nah{l ayat 2
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ  
“Dia menurunkan Para Malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, Yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwa tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku".
Surat al-Shu>ra> Ayat 52
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  
“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan wahyu itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”

Terkait dengan ke-tiga ayat tersebut, berikut akan dibahas lebih lanjut:
1.  Munasabah Ayat Dengan Surah Masing-Masing
a.    Surat al-Mu’min ayat 15
Ayat sebelumnya (QS. al-Mu’min: 14) berbicara tentang Allah yang hanya kepada-Nya semata harus tertuju ketaatan, ayat ini menjelaskan tentang ke-Maha Tinggi derajat-Nya dalam mengutus malaikat untuk menyampaikan wahyu kepada para nabi sebagai peringatan adanya hari kiamat dan ayat sesudahnya (QS. al-Mu’min: 16) menjelaskan tentang bagaimanakah hari kiamat itu, serta penjelasan tentang keesaan Allah dan kekuasaan Allah dalam menetapkan putusan dalam pengaturan alam raya.
b.    Surat al-Nah{l ayat 2
Ayat sebelumnya (Qs. al-Nah{l ayat 1) menyatakan kesucian Allah dari segala kekurangan dan shirik, pada ayat ini ditegaskan kebenaran para rasul, termasuk nabi Muh{ammad yang sungguh menerima wahyu melalui malaikat atas perintah-Nya untuk menyeruh pada ke-EsaanNya serta perintah bertakwa pada-Nya, sedangkan ayat sesudahnya (Qs. al-Nah{l ayat 3) memaparkan salah satu bukti tentang ke-Esaan itu, sekaligus merupakan pelurusan kepercayaan kaum mushrikin yang mempersekutukan-Nya.  
c.    Surat al-Shu>ra> ayat 52
Ayat yang lalu (QS. al-Shu>ra> ayat 51) menguraikan cara-cara Allah menyampaikan wahyu kepada nabi Muh{ammad saw, pada ayat ini hal tersebut ditegaskan perihal wahyu yang disampaikan kepada nabi Muh{ammad adalah cahaya yang dengannya Allah memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus. Sedang ayat sesudahnya (QS. al-Shu>ra> ayat 53) mendeskripsikan tentang jalan yang lurus, yaitu segala pertolongan yang paling dibutuhkan manusia, berupa shariat-shariat yang telah ditetapkan Allah.

2.  Penafsiran Ayat tentang al-Qur’a>n sebagai Ru>h
Dalam menginterpretasikan al-Qur’a>n sebagai ru>h, dalam konteks ru>h yang memiliki pengertian sebagai wahyu, maka dari ketiga ayat yang dibahas tersebut  [(QS. al-Mu’min [40]: 15), (QS. al-Nah{l [16]: 2), dan (QS. al-Shu>ra> [42]: 52)}] didapat tiga kerangka pembahasan, yaitu:
1)      Pada ayat pertama (QS. Al-Mu’min [40]:15), digambarkan secara umum kepada siapa dan untuk apa ruh (wahyu) itu diberikan. Maka dengan ru>h (wahyu) ini manusia bisa hidup dengan baik dan benar.
2)      Pada ayat kedua (QS. Al-Nah{l [16]: 2), kembali digambarkan kepada siapa dan untuk apa ru>h (wahyu) itu diberikan, selain itu pada ayat ini ditegaskan bagaimana ru>h (wahyu) itu diturunkan, yaitu melalui perantara malaikat. Oleh karenanya, dalam ayat ini menggambarkan bahwa merealisasikan bimbingan wahyu merupakan cara manusia untuk hidup terhormat, sebab dengan ru>h (wahyu) jiwa manusia bisa hidup.
3)      Pada ayat ketiga (QS. al-Shu>ra> [42]: 52) ini, lebih detail dan khusus dijelaskan apa saja wahyu itu dan bagaimana fungsinya dalam lini kehidupan, yaitu sumber kekuatan yang mengerakkan, menyelamatkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari, selain itu digambarkan pula siapa dari hamba-hamba Allah yang dikehendaki mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus.
Lebih lanjut, bagaimana uraian ketiga kerangka pembahasan (out line) dari ayat-ayat bertema al-Qur’a>n sebagai ru>h tersebut dalam penafsiran, berikut ini penulis kupas :  
QS. Al-Mu’min ayat 15
رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِ  

Kata ruh dalam ayat ini dipahami dengan arti wahyu[4], hal ini sebagaimana riwayat:
حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قتاده، قوله:( يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ ) قال: الوحي من أمره.
حدثني هارون بن إدريس الأصمّ، قال: ثنا عيد الرحمن بن المحاربيّ، عن جُوَيبر، عن الضحاك في قوله:( يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ) قال: يعني بالروح: الكتاب ينزله على من يشاء.
Selanjutnya kata min pada kalimat min imrihi, dipahami dalam arti dengan, yakni memberikan ru>h dengan atau atas perintahNya. Sedangkan kalimat man yasha>u min ‘ibadihi, adalah berbicara tentang turunnya wahyu kepada nabi-nabi,[5] sebagaimana dalam riwayat:
حدثنا محمد، قال: ثنا أحمد، قال: ثنا أسباط، عن السديّ، في قول الله:( يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ) قال: النبوّة على من يشاء.
Ini berarti Allah memberi wahyu dengan mengutus malaikat atas perintah-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki, atau dalam arti memberikannya sebagai salah satu hal yang merupakan urusan dan wewenang Allah swt. Tidak satu pun dapat terlibat dalam hal wahyu. Ia tidak dapat diusahakan, tidak dapat juga diundang atau ditampik kehadirannya. Secara khusus, ayat ini berbicara tentang diturunkannya wahyu kepada Nabi Muh{ammad saw, serta adanya penutup ayat ini yang menegaskan pemberian wahyu tersebut agar yang diberikan wahyu bertindak sebagai pemberi peringatan yang menyangkut hari Kiamat (yaum al-tala>q), karena persoalan kiamat adalah persoalan ghaib yang tidak dapat diketahui kecuali melalui wahyu dan yang menerimanya adalah para nabi.
Redaksi yang digunakan dalam ayat ini mengisyaratkan tiga hal: Pertama, bahwa wahyu adalah ru>h dan kehidupan bagi manusia, tanpa ru>h ini manusia tidak akan bisa hidup dengan baik dan benar. Kedua, bahwa wahyu itu turun dari tempat yang tinggi kepada siapa yang dipilih dari hamba-hamba-Nya. Redaksi ini bertepatan dengan sifat Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Ketiga, wahyu itu turun sebagai peringatan yang menyangkut hari kiamat, agar manusia lebih bertanggungjawab terhadap perbuatan dan tindakannya.
Setelah mengisyaratkan bahwa ru>h (wahyu) adalah alat bagi manusia untuk hidup dengan baik dan benar (QS. al-Mukmin: 15), selanjutnya pada ayat berikut ini (QS. Al-Nah{l [16]: 2), kembali ditegaskan akan kekuatan ru>h (wahyu) yang dibawa oleh malaikat kepada nabi Muh{ammad saw, sekaligus peringatan akan ke-Esaan Allah dan anjuran untuk men-tauhidkanNya serta bertakwa pada-Nya.
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ  
Pemahaman ruh dengan wahyu pada ayat ini karena tuntunan-tuntunan Allah dinamai al-ru>h sebab dengannya jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa. Ini serupa dengan penamaan kebodohan dengan kematian, atau ilmu dengan cahaya. Tanpa melaksanakan bimbingan wahyu, manusia tidak dapat hidup sebagai makhluk terhormat bahkan jiwanya mati, sehingga ia mati terkubur walau masih menarik dan menghembuskan nafas.[6]
Ayat di atas menyimpulkan semua ajaran Ilahi pada kalimat la> Ilaha illa Ana, fattaqu>n. Pengertian tersebut sepadan dengan tujuan diturunkan wahyu kepada para nabi, yaitu tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku (Allah). Firman Allah tersebut termaktub dalam surat al-Anbiya>’ ayat 25:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
        Memang ketuhanan yang Maha Esa diibaratkan sebagai matahari hidup manusia. Apabila dalam kehidupan dunia ini ada matahari yang dijadikan Allah swt sebagai sumber kehidupan makhluk, maka tauhid adalah sumber kehidupan makhluk berakal. Apabila tanpa pancaran cahaya matahari kehidupan makhluk di permukaan bumi ini akan binasa, maka tanpa ketuhanan Yang Maha Esa kehidupan jiwa manusia pun akan binasa. Dari pancaran tauhid tersebut akan didapatkan kesatuan hidup duniawi dan ukhrawi dalam arti yang menentukan keadaan hidup seseorang di akhirat adalah amal-amalnya di dunia. Keyakinan akan keesaan Allah itulah yang akhirnya membuahkan takwa. Dengan demikian, bertauhid (mengesakan Allah) merupakan sebuah upaya untuk merealisasikan bimbingan wahyu. Untuk itulah, maka seharusnya ruh (wahyu) diterima dengan segenap perasaan, pikiran dan kehendak, tidak mengharap atau menggantungkan kekuatan lain di luar dari kekuatan firman-Nya.
Setelah menguraikan pentingnya merealisasikan bimbingan wahyu, sebab dengannya jiwa manusia hidup, dalam surat al-Shu>ra> ayat 52 berikut ini, lebih detail menginterpretasikan bahwa ru>h merupakan sebuah kekuatan yang menggerakkan, mempertahankan kehidupan di dalam hati, bahkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Selain itu, ayat berikut ini juga lebih menjelaskan bahwa wahyu disini meliputi al-Qur’a>n dan al-H{adi>th.
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  
Pengertian ruh dalam ayat ini dengan arti wahyu (al-Qur’a>n dan al-H{adi>th), sangatlah tepat dengan adanya penyebutan ma> kunta tadri> ma> al-kita>b wa al-i>ma>n serta ja’alna>hu nu>ran setelah penyebutan redaksi ru>h. Dengan demikian, wahyu inilah kitab yang membentuk jiwa, membangun umat dan kebudayaan mereka. Inilah sesungguhnya kekuatan ruh (wahyu). Lebih jelas, pengertian ruh di sini meliputi al-Qur’a>n dan al-H{adi>th. Firman Allah surat al-Ma>idah dan al-Nisa>’ mengambarkan tentang diturunkannya al-Qur’a>n sebagai suatu sinergi dan kekuatan pembentuk jiwa :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (15) يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ [7] 
“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti kerid{aan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا [8]
Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’a>n).
Adapun firman Allah yang menjelaskan bahwa pengertian ru>h (wahyu) dalam ayat di atas juga meliputi al-H{adi>th adalah
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى [9]
 Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

…” وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [10]
“…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”
Demikianlah, ru>h (wahyu) meliputi al-Qur’a>n yang merupakan sinergi juga kekuatan pembentuk jiwa, ia (ru>h) juga merupakan al-H{adi>th yang harus diterima dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Selanjutnya yang termasuk dari golongan man nasya>u min ‘iba>dina>, adalah orang-orang beriman,[11] hal ini sebagaimana firman Allah:
….” قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آَذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ [12]
“….Katakanlah: "Al-Qur’a>n itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin, dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’a>n itu suatu kegelapan bagi mereka, mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".
Adapun s{ira>t{in mustaqi>min, bermakna segala pertolongan yang paling dibutuhkan oleh manusia, yaitu shariat-shariat Allah yang telah ditetapkan[13] (sebagaimana terangkum dalam ayat berikutnya QS. al-Shu>ra> ayat 53). Jalan yang lurus ini dapat diperoleh dan diketahui dengan memohon petunjukNya dengan cara beriman, tawakal, ibadah, dan membaca kitab suciNya sebagaimana yang diajarkan oleh para Salaf al-S{a>lih{ yang terpilih.
Dengan demikian, esensi seluruh perintah dan petunjuk wahyu (al-Qur’a>n dan al-H{adi>th) adalah dalam rangka memelihara kehidupan manusia, baik secara fisik maupun psikis. Tanpa panduan dan pedoman ini, kehidupan manusia semakin tidak menentu dan jelas arahnya. Oleh karenanya, yang perlu disadari dari wahyu (al-Qur’a>n dan al-H{adi>th)  yang mulia ini bahwa wahyu tersebut merupakan sistem hidup yang mengarahkan orang-orang yang beriman untuk mewujudkan kehidupan dalam bingkai keimanan. Sebuah hakikat kehidupan yang meliputi segenap komponen yang ada pada diri manusia, kehidupan fisik, perasaan, getaran jiwa, kemauan, pikiran, dan kehendaknya.

3.  Analisa
al-Qur’a>n diumpamakan sebagai ru>h, yang merupakan kategori dari tashbi>h bali>gh, tashbi>h yang derajatnya lebih tinggi dari tashbi>h-tashbi>h lainnya,  sebab itu al-Qur’a>n layaknya seperti ru>h yang bernaung dalam tubuh manusia, tanpa ruh manusia layaknya mayat hidup, begitu pulalah dengan al-Qur’a>n, tanpa sistem nilai darinya, manusia dapat rusak dan merusak. Adapun Pemahaman ru>h dengan wahyu pada ayat-ayat di atas, karena tuntunan-tuntunan Allah dinamai al-ru>h sebab dengannya jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa. Ini serupa dengan penamaan kebodohan dengan kematian, atau ilmu dengan cahaya. Sebagaimana Ibn Qutaibah, dalam Ta’wi>l Mushkil al-Al-Qur’a>n, menyatakan bahwa firman Allah dinamakan ru>h karena dapat menyelamatkan dari kebodohan dan mematikan kekufuran. Begitulah kiranya pentingnya ru>h (wahyu) bagi kehidupan manusia.
Ketika mencermati munasabah ayat-ayat yang dibahas, dengan tegas kesemuanya menunjukkan bagaimana ru>h (wahyu) itu diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, agar manusia tidak pernah lalai pentingnya sebuah ketaatan, keesaan, dan keagungan Allah. Selain itu, Ayat-ayat di atas dengan jelas mengambarkan bagaimana ru>h (wahyu) sangat berfungsi dan berperan penting dalam kehidupan manusia, dalam QS. Al-Mu’min ayat 15 misalnya, ditegaskan dengan kalimat liyundhira yaum al-talla>q, yang memberi pengertian bahwa dengan fungsinya menggingatkan kepada hari pembalasan, manusia jadi bisa lebih bertanggung jawab atas segala apa yang diperbuatnya, maka tidak salah bila ru>h (wahyu) di sini dapat menjadikan hidup manusia lebih baik dan benar. Lebih jelas lagi dalam QS. al-Nah{l ayat 2, disebutkan an andhiru> annahu la> ilaha a>na fattaqu>n, seruan untuk berkeyakinan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, merupakan sebuah upaya bagaimana melaksanakan bimbingan wahyu, sebab bertauhid sendiri merupakan sumber kehidupan makhluk berakal, yang berarti bahwa dengan bimbingan wahyu tersebut manusia  bisa hidup lebih terhormat. Oleh karenanya, manusia tidak bisa lepas dari ru>h, sebab ru>h yang mampu menggerakan perasaan, pikiran, dan kehendak dalam diri manusia.    
Begitulah cara kerja ru>h, kekuatan besar lain dari sentuhan ru>h (wahyu) dapat dirasakan bila kita mencermati ayat selanjutnya, yaitu QS. al-Shu>ra> ayat 52, yang lebih spesifik menjelaskan ke-umuman ayat-ayat sebelumnya (QS. Al-Mu’min ayat 15 dan QS. Al-Nah{l ayat 2). Kekuatan besar itu terlihat dari kalimat ma> kunta tadri> ma> al-kita>b wa la al-i>ma>n, dengan jelas ruh (wahyu) mampu memberikan pencerahan, padahal sebelumnya tidak diketahui apa itu al-kitab dan iman, selain itu ru>h (wahyu) tersebut mampu menjadi cahaya (nu>ran) petunjuk bagi orang-orang yang dikehendaki, yaitu orang-orang yang beriman, sebagaimana terbaca dalam surat al-Fus{s{ilat ayat 44, sehingga manusia mampu berjalan di jalan yang lurus, yaitu shariat-shariat Allah, yang dibutuhkannya untuk mengarungi kehidupan nyata di dunia. Adapun ru>h sendiri, bisa berupa al-Qur’a>n dan al-H{adi>th (Qs. al-Ma>’idah ayat 15-16, QS. al-Nisa>’ ayat 174, QS. al-Najm ayat 3-4, dan QS. al-Hashr ayat 7), yang dibawa dan disampaikan oleh Nabi Muh{ammad saw, sebab al-H{adi>th sendiri datang sebagai penjelas atas segala persoalan yang belum dijelaskan  secara terperinci dalam al-Qur’a>n. 
Demikianlah sinergi keduanya, al-Qur’a>n dan al-H{adi>th, keduanya menjadi sistem hidup bagi manusia untuk bisa berlaku baik dan benar dalam lini kehidupan, sehingga manusia tidak menjadi rusak dan perusak, akan tetapi menjadi insa>n ka>mil  yang  rah{mat li al-‘alami>n.

Kesimpulan
Sebagai ru>h, al-Qur’a>n merupakan undang-undang Allah yang mengatur kehidupan manusia sebagai individu maupun kolektif. Sebagai sistem kehidupan, Ru>h (wahyu) mampu menghidupkan dan mengerakkan akal dan fikiran, pengantar dari ragu kepada yakin, dari kebodohan kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, khianat kepada amanat, riya’ kepada ikhlas, lemah kepada teguh, dan sombong kepada tahu diri. Oleh karenanya, ru>h layaknya semacam sinergi dari elemen-elemen sistem organ tubuh, artinya ketika organ-organ tubuh manusia semua berfungsi maka ru>h hadir, dan ketika tidak berfungsi, ru>h menghilang, sehingga kehadiran ru>h dapat dipahami sebagai sunatullah.







[1] Abi> Muh{ammad ‘Abd Allah Ibn Muslim Ibn Qutaibah, Ta’wi>l Mushkil al-Qur’a>n, (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, 2006), 441-444.
[2] Ahmad Mubarok, Psikologi Qur'ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 10.
[3] Ibn Qutaibah, Ta’wi>l Mushkil al-Qur’a>n, 443.
[4] Abu> Ja’far al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n, ( al-Maktabah al-Sha>milah: Mu’assah al-Risa>lah, 2000), 468.
[5] Ibid.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n, Vol 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 182.
[7] QS. Al-Ma>idah [5]: 15-16.
[8] QS. Al-Nisa>’[4]: 174.
[9] QS. Al-Najm [53]: 3-4.
[10] QS. Al-H{ashr [59]: 7.
[11] Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az{i>m, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), 489.
[12] QS. Al-Fus{illat [41]: 44.
[13] Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az{i>m, 489.