Kamis, 31 Maret 2011

Kajian Tafsir Tematik 1


AL-QUR’A>N SEBAGAI RU>H
(Kajian Tafsir Tematik tentang al-Qur’a>n sebagai World View)
                                                  Oleh: Wie_Aira

Pendahuluan
Ru>h dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, wahyu, malaikat, perintah dan rahmat.[1] Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kata ruhaniyyun digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti: malaikat dan jin.[2]
Terdapat 19 ayat yang menyebut kata “ru>h” dalam al-Qura>n. al-Qur'a>n sendiri, antara lain, menggunakan kata ru>h untuk menunjukkan makna malaikat (QS. al-Syu'ara>' [26]: 193), (QS. al-Baqarah [2]: 253),  (QS. al-Qadr [97]:4), (QS. al-Naba>’ [78]: 38),  (QS. al-Isra>’ [17]: 85), (QS. al-Ma’a>rij [70]: 4), rahmat Allah (QS. al-Muja>dalah [58]: 22), (QS. al-Wa>qi’ah [56]: 89), (QS. Yu>suf [12]: 87),  proses peniupan ruh pada ke dalam tubuh manusia (QS. al-Sha>ffa>t [37]: 7-9),  (QS. al-Anbiya>’ [21]: 91), (QS. al-Sajadah [32]: 9), (QS. al-H{ijr [15]: 29), (QS. S{a>d [38]: 72), dan dalam konteks ru>h yang memiliki pengertian wahyu, terdapat tiga ayat yang membahasnya, yaitu (QS. Al-Mu’min [40]: 15), (QS. al-Shu>ra> [42]: 52), dan (QS. al-Nah{l [16]: 2.
Mengenai penamaan Al-Qura>n dengan ru>h bukan kebetulan dan tanpa hikmah, seperti juga nama dan sifat lain yang dimiliki oleh al-Qura>n yang mencerminkan fungsi dan perannya yang komprehensif dan universal. Ibn Qutaibah, dalam Ta’wi>l Mushkil al-al-Qur’a>n, menyatakan bahwa firman Allah dinamakan ru>h karena dapat menyelamatkan dari kebodohan dan mematikan kekufuran.[3] Oleh karenanya, betapa hanya al-Qura>n yang bisa diandalkan menyelesaikan masalah kemanusiaan dalam segala bentuknya. Tulisan ini mencoba menginterpretasikan bagaimana al-Qur’a>n sebagai ru>h (world view) dalam kehidupan manusia.

al-Qur’a>n Sebagai Ru>h (World View)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam konteks ru>h yang memiliki pengertian wahyu, terdapat tiga ayat yang membahasnya, yang penulis sesuaikan dengan urutan masa turun ayat, maka sistematika urutan ayat tersebut yaitu (QS. al-Mu’min [40]: 15), (QS. al-Shu>ra> [42]: 52), dan (QS. Al-Nah{l [16]: 2. Adapun setelah mencermati berbagai kaidah dan keumuman dan kekhususan lafad yang dibahas, maka penulis men-sistematiskan ayat yang dibahas dalam tulisan ini dengan urutan: 1) (QS. al-Mu’min [40]: 15), 2) (QS. al-Nah{l [16]: 2), dan 3) (QS. al-Shu>ra> [42]: 52), sebagai berikut:
Surat al-Mu’min ayat 15
رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِ  
“(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, yang mempunyai 'Arsh, yang memberi ruh dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari Pertemuan (hari kiamat).”

Surat Al-Nah{l ayat 2
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ  
“Dia menurunkan Para Malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, Yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwa tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku".
Surat al-Shu>ra> Ayat 52
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  
“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan wahyu itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”

Terkait dengan ke-tiga ayat tersebut, berikut akan dibahas lebih lanjut:
1.  Munasabah Ayat Dengan Surah Masing-Masing
a.    Surat al-Mu’min ayat 15
Ayat sebelumnya (QS. al-Mu’min: 14) berbicara tentang Allah yang hanya kepada-Nya semata harus tertuju ketaatan, ayat ini menjelaskan tentang ke-Maha Tinggi derajat-Nya dalam mengutus malaikat untuk menyampaikan wahyu kepada para nabi sebagai peringatan adanya hari kiamat dan ayat sesudahnya (QS. al-Mu’min: 16) menjelaskan tentang bagaimanakah hari kiamat itu, serta penjelasan tentang keesaan Allah dan kekuasaan Allah dalam menetapkan putusan dalam pengaturan alam raya.
b.    Surat al-Nah{l ayat 2
Ayat sebelumnya (Qs. al-Nah{l ayat 1) menyatakan kesucian Allah dari segala kekurangan dan shirik, pada ayat ini ditegaskan kebenaran para rasul, termasuk nabi Muh{ammad yang sungguh menerima wahyu melalui malaikat atas perintah-Nya untuk menyeruh pada ke-EsaanNya serta perintah bertakwa pada-Nya, sedangkan ayat sesudahnya (Qs. al-Nah{l ayat 3) memaparkan salah satu bukti tentang ke-Esaan itu, sekaligus merupakan pelurusan kepercayaan kaum mushrikin yang mempersekutukan-Nya.  
c.    Surat al-Shu>ra> ayat 52
Ayat yang lalu (QS. al-Shu>ra> ayat 51) menguraikan cara-cara Allah menyampaikan wahyu kepada nabi Muh{ammad saw, pada ayat ini hal tersebut ditegaskan perihal wahyu yang disampaikan kepada nabi Muh{ammad adalah cahaya yang dengannya Allah memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus. Sedang ayat sesudahnya (QS. al-Shu>ra> ayat 53) mendeskripsikan tentang jalan yang lurus, yaitu segala pertolongan yang paling dibutuhkan manusia, berupa shariat-shariat yang telah ditetapkan Allah.

2.  Penafsiran Ayat tentang al-Qur’a>n sebagai Ru>h
Dalam menginterpretasikan al-Qur’a>n sebagai ru>h, dalam konteks ru>h yang memiliki pengertian sebagai wahyu, maka dari ketiga ayat yang dibahas tersebut  [(QS. al-Mu’min [40]: 15), (QS. al-Nah{l [16]: 2), dan (QS. al-Shu>ra> [42]: 52)}] didapat tiga kerangka pembahasan, yaitu:
1)      Pada ayat pertama (QS. Al-Mu’min [40]:15), digambarkan secara umum kepada siapa dan untuk apa ruh (wahyu) itu diberikan. Maka dengan ru>h (wahyu) ini manusia bisa hidup dengan baik dan benar.
2)      Pada ayat kedua (QS. Al-Nah{l [16]: 2), kembali digambarkan kepada siapa dan untuk apa ru>h (wahyu) itu diberikan, selain itu pada ayat ini ditegaskan bagaimana ru>h (wahyu) itu diturunkan, yaitu melalui perantara malaikat. Oleh karenanya, dalam ayat ini menggambarkan bahwa merealisasikan bimbingan wahyu merupakan cara manusia untuk hidup terhormat, sebab dengan ru>h (wahyu) jiwa manusia bisa hidup.
3)      Pada ayat ketiga (QS. al-Shu>ra> [42]: 52) ini, lebih detail dan khusus dijelaskan apa saja wahyu itu dan bagaimana fungsinya dalam lini kehidupan, yaitu sumber kekuatan yang mengerakkan, menyelamatkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari, selain itu digambarkan pula siapa dari hamba-hamba Allah yang dikehendaki mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus.
Lebih lanjut, bagaimana uraian ketiga kerangka pembahasan (out line) dari ayat-ayat bertema al-Qur’a>n sebagai ru>h tersebut dalam penafsiran, berikut ini penulis kupas :  
QS. Al-Mu’min ayat 15
رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِ  

Kata ruh dalam ayat ini dipahami dengan arti wahyu[4], hal ini sebagaimana riwayat:
حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قتاده، قوله:( يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ ) قال: الوحي من أمره.
حدثني هارون بن إدريس الأصمّ، قال: ثنا عيد الرحمن بن المحاربيّ، عن جُوَيبر، عن الضحاك في قوله:( يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ) قال: يعني بالروح: الكتاب ينزله على من يشاء.
Selanjutnya kata min pada kalimat min imrihi, dipahami dalam arti dengan, yakni memberikan ru>h dengan atau atas perintahNya. Sedangkan kalimat man yasha>u min ‘ibadihi, adalah berbicara tentang turunnya wahyu kepada nabi-nabi,[5] sebagaimana dalam riwayat:
حدثنا محمد، قال: ثنا أحمد، قال: ثنا أسباط، عن السديّ، في قول الله:( يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ) قال: النبوّة على من يشاء.
Ini berarti Allah memberi wahyu dengan mengutus malaikat atas perintah-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki, atau dalam arti memberikannya sebagai salah satu hal yang merupakan urusan dan wewenang Allah swt. Tidak satu pun dapat terlibat dalam hal wahyu. Ia tidak dapat diusahakan, tidak dapat juga diundang atau ditampik kehadirannya. Secara khusus, ayat ini berbicara tentang diturunkannya wahyu kepada Nabi Muh{ammad saw, serta adanya penutup ayat ini yang menegaskan pemberian wahyu tersebut agar yang diberikan wahyu bertindak sebagai pemberi peringatan yang menyangkut hari Kiamat (yaum al-tala>q), karena persoalan kiamat adalah persoalan ghaib yang tidak dapat diketahui kecuali melalui wahyu dan yang menerimanya adalah para nabi.
Redaksi yang digunakan dalam ayat ini mengisyaratkan tiga hal: Pertama, bahwa wahyu adalah ru>h dan kehidupan bagi manusia, tanpa ru>h ini manusia tidak akan bisa hidup dengan baik dan benar. Kedua, bahwa wahyu itu turun dari tempat yang tinggi kepada siapa yang dipilih dari hamba-hamba-Nya. Redaksi ini bertepatan dengan sifat Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Ketiga, wahyu itu turun sebagai peringatan yang menyangkut hari kiamat, agar manusia lebih bertanggungjawab terhadap perbuatan dan tindakannya.
Setelah mengisyaratkan bahwa ru>h (wahyu) adalah alat bagi manusia untuk hidup dengan baik dan benar (QS. al-Mukmin: 15), selanjutnya pada ayat berikut ini (QS. Al-Nah{l [16]: 2), kembali ditegaskan akan kekuatan ru>h (wahyu) yang dibawa oleh malaikat kepada nabi Muh{ammad saw, sekaligus peringatan akan ke-Esaan Allah dan anjuran untuk men-tauhidkanNya serta bertakwa pada-Nya.
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ  
Pemahaman ruh dengan wahyu pada ayat ini karena tuntunan-tuntunan Allah dinamai al-ru>h sebab dengannya jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa. Ini serupa dengan penamaan kebodohan dengan kematian, atau ilmu dengan cahaya. Tanpa melaksanakan bimbingan wahyu, manusia tidak dapat hidup sebagai makhluk terhormat bahkan jiwanya mati, sehingga ia mati terkubur walau masih menarik dan menghembuskan nafas.[6]
Ayat di atas menyimpulkan semua ajaran Ilahi pada kalimat la> Ilaha illa Ana, fattaqu>n. Pengertian tersebut sepadan dengan tujuan diturunkan wahyu kepada para nabi, yaitu tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku (Allah). Firman Allah tersebut termaktub dalam surat al-Anbiya>’ ayat 25:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
        Memang ketuhanan yang Maha Esa diibaratkan sebagai matahari hidup manusia. Apabila dalam kehidupan dunia ini ada matahari yang dijadikan Allah swt sebagai sumber kehidupan makhluk, maka tauhid adalah sumber kehidupan makhluk berakal. Apabila tanpa pancaran cahaya matahari kehidupan makhluk di permukaan bumi ini akan binasa, maka tanpa ketuhanan Yang Maha Esa kehidupan jiwa manusia pun akan binasa. Dari pancaran tauhid tersebut akan didapatkan kesatuan hidup duniawi dan ukhrawi dalam arti yang menentukan keadaan hidup seseorang di akhirat adalah amal-amalnya di dunia. Keyakinan akan keesaan Allah itulah yang akhirnya membuahkan takwa. Dengan demikian, bertauhid (mengesakan Allah) merupakan sebuah upaya untuk merealisasikan bimbingan wahyu. Untuk itulah, maka seharusnya ruh (wahyu) diterima dengan segenap perasaan, pikiran dan kehendak, tidak mengharap atau menggantungkan kekuatan lain di luar dari kekuatan firman-Nya.
Setelah menguraikan pentingnya merealisasikan bimbingan wahyu, sebab dengannya jiwa manusia hidup, dalam surat al-Shu>ra> ayat 52 berikut ini, lebih detail menginterpretasikan bahwa ru>h merupakan sebuah kekuatan yang menggerakkan, mempertahankan kehidupan di dalam hati, bahkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Selain itu, ayat berikut ini juga lebih menjelaskan bahwa wahyu disini meliputi al-Qur’a>n dan al-H{adi>th.
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  
Pengertian ruh dalam ayat ini dengan arti wahyu (al-Qur’a>n dan al-H{adi>th), sangatlah tepat dengan adanya penyebutan ma> kunta tadri> ma> al-kita>b wa al-i>ma>n serta ja’alna>hu nu>ran setelah penyebutan redaksi ru>h. Dengan demikian, wahyu inilah kitab yang membentuk jiwa, membangun umat dan kebudayaan mereka. Inilah sesungguhnya kekuatan ruh (wahyu). Lebih jelas, pengertian ruh di sini meliputi al-Qur’a>n dan al-H{adi>th. Firman Allah surat al-Ma>idah dan al-Nisa>’ mengambarkan tentang diturunkannya al-Qur’a>n sebagai suatu sinergi dan kekuatan pembentuk jiwa :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (15) يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ [7] 
“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti kerid{aan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا [8]
Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’a>n).
Adapun firman Allah yang menjelaskan bahwa pengertian ru>h (wahyu) dalam ayat di atas juga meliputi al-H{adi>th adalah
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى [9]
 Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

…” وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [10]
“…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”
Demikianlah, ru>h (wahyu) meliputi al-Qur’a>n yang merupakan sinergi juga kekuatan pembentuk jiwa, ia (ru>h) juga merupakan al-H{adi>th yang harus diterima dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Selanjutnya yang termasuk dari golongan man nasya>u min ‘iba>dina>, adalah orang-orang beriman,[11] hal ini sebagaimana firman Allah:
….” قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آَذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ [12]
“….Katakanlah: "Al-Qur’a>n itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin, dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’a>n itu suatu kegelapan bagi mereka, mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".
Adapun s{ira>t{in mustaqi>min, bermakna segala pertolongan yang paling dibutuhkan oleh manusia, yaitu shariat-shariat Allah yang telah ditetapkan[13] (sebagaimana terangkum dalam ayat berikutnya QS. al-Shu>ra> ayat 53). Jalan yang lurus ini dapat diperoleh dan diketahui dengan memohon petunjukNya dengan cara beriman, tawakal, ibadah, dan membaca kitab suciNya sebagaimana yang diajarkan oleh para Salaf al-S{a>lih{ yang terpilih.
Dengan demikian, esensi seluruh perintah dan petunjuk wahyu (al-Qur’a>n dan al-H{adi>th) adalah dalam rangka memelihara kehidupan manusia, baik secara fisik maupun psikis. Tanpa panduan dan pedoman ini, kehidupan manusia semakin tidak menentu dan jelas arahnya. Oleh karenanya, yang perlu disadari dari wahyu (al-Qur’a>n dan al-H{adi>th)  yang mulia ini bahwa wahyu tersebut merupakan sistem hidup yang mengarahkan orang-orang yang beriman untuk mewujudkan kehidupan dalam bingkai keimanan. Sebuah hakikat kehidupan yang meliputi segenap komponen yang ada pada diri manusia, kehidupan fisik, perasaan, getaran jiwa, kemauan, pikiran, dan kehendaknya.

3.  Analisa
al-Qur’a>n diumpamakan sebagai ru>h, yang merupakan kategori dari tashbi>h bali>gh, tashbi>h yang derajatnya lebih tinggi dari tashbi>h-tashbi>h lainnya,  sebab itu al-Qur’a>n layaknya seperti ru>h yang bernaung dalam tubuh manusia, tanpa ruh manusia layaknya mayat hidup, begitu pulalah dengan al-Qur’a>n, tanpa sistem nilai darinya, manusia dapat rusak dan merusak. Adapun Pemahaman ru>h dengan wahyu pada ayat-ayat di atas, karena tuntunan-tuntunan Allah dinamai al-ru>h sebab dengannya jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa. Ini serupa dengan penamaan kebodohan dengan kematian, atau ilmu dengan cahaya. Sebagaimana Ibn Qutaibah, dalam Ta’wi>l Mushkil al-Al-Qur’a>n, menyatakan bahwa firman Allah dinamakan ru>h karena dapat menyelamatkan dari kebodohan dan mematikan kekufuran. Begitulah kiranya pentingnya ru>h (wahyu) bagi kehidupan manusia.
Ketika mencermati munasabah ayat-ayat yang dibahas, dengan tegas kesemuanya menunjukkan bagaimana ru>h (wahyu) itu diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, agar manusia tidak pernah lalai pentingnya sebuah ketaatan, keesaan, dan keagungan Allah. Selain itu, Ayat-ayat di atas dengan jelas mengambarkan bagaimana ru>h (wahyu) sangat berfungsi dan berperan penting dalam kehidupan manusia, dalam QS. Al-Mu’min ayat 15 misalnya, ditegaskan dengan kalimat liyundhira yaum al-talla>q, yang memberi pengertian bahwa dengan fungsinya menggingatkan kepada hari pembalasan, manusia jadi bisa lebih bertanggung jawab atas segala apa yang diperbuatnya, maka tidak salah bila ru>h (wahyu) di sini dapat menjadikan hidup manusia lebih baik dan benar. Lebih jelas lagi dalam QS. al-Nah{l ayat 2, disebutkan an andhiru> annahu la> ilaha a>na fattaqu>n, seruan untuk berkeyakinan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, merupakan sebuah upaya bagaimana melaksanakan bimbingan wahyu, sebab bertauhid sendiri merupakan sumber kehidupan makhluk berakal, yang berarti bahwa dengan bimbingan wahyu tersebut manusia  bisa hidup lebih terhormat. Oleh karenanya, manusia tidak bisa lepas dari ru>h, sebab ru>h yang mampu menggerakan perasaan, pikiran, dan kehendak dalam diri manusia.    
Begitulah cara kerja ru>h, kekuatan besar lain dari sentuhan ru>h (wahyu) dapat dirasakan bila kita mencermati ayat selanjutnya, yaitu QS. al-Shu>ra> ayat 52, yang lebih spesifik menjelaskan ke-umuman ayat-ayat sebelumnya (QS. Al-Mu’min ayat 15 dan QS. Al-Nah{l ayat 2). Kekuatan besar itu terlihat dari kalimat ma> kunta tadri> ma> al-kita>b wa la al-i>ma>n, dengan jelas ruh (wahyu) mampu memberikan pencerahan, padahal sebelumnya tidak diketahui apa itu al-kitab dan iman, selain itu ru>h (wahyu) tersebut mampu menjadi cahaya (nu>ran) petunjuk bagi orang-orang yang dikehendaki, yaitu orang-orang yang beriman, sebagaimana terbaca dalam surat al-Fus{s{ilat ayat 44, sehingga manusia mampu berjalan di jalan yang lurus, yaitu shariat-shariat Allah, yang dibutuhkannya untuk mengarungi kehidupan nyata di dunia. Adapun ru>h sendiri, bisa berupa al-Qur’a>n dan al-H{adi>th (Qs. al-Ma>’idah ayat 15-16, QS. al-Nisa>’ ayat 174, QS. al-Najm ayat 3-4, dan QS. al-Hashr ayat 7), yang dibawa dan disampaikan oleh Nabi Muh{ammad saw, sebab al-H{adi>th sendiri datang sebagai penjelas atas segala persoalan yang belum dijelaskan  secara terperinci dalam al-Qur’a>n. 
Demikianlah sinergi keduanya, al-Qur’a>n dan al-H{adi>th, keduanya menjadi sistem hidup bagi manusia untuk bisa berlaku baik dan benar dalam lini kehidupan, sehingga manusia tidak menjadi rusak dan perusak, akan tetapi menjadi insa>n ka>mil  yang  rah{mat li al-‘alami>n.

Kesimpulan
Sebagai ru>h, al-Qur’a>n merupakan undang-undang Allah yang mengatur kehidupan manusia sebagai individu maupun kolektif. Sebagai sistem kehidupan, Ru>h (wahyu) mampu menghidupkan dan mengerakkan akal dan fikiran, pengantar dari ragu kepada yakin, dari kebodohan kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, khianat kepada amanat, riya’ kepada ikhlas, lemah kepada teguh, dan sombong kepada tahu diri. Oleh karenanya, ru>h layaknya semacam sinergi dari elemen-elemen sistem organ tubuh, artinya ketika organ-organ tubuh manusia semua berfungsi maka ru>h hadir, dan ketika tidak berfungsi, ru>h menghilang, sehingga kehadiran ru>h dapat dipahami sebagai sunatullah.







[1] Abi> Muh{ammad ‘Abd Allah Ibn Muslim Ibn Qutaibah, Ta’wi>l Mushkil al-Qur’a>n, (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, 2006), 441-444.
[2] Ahmad Mubarok, Psikologi Qur'ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 10.
[3] Ibn Qutaibah, Ta’wi>l Mushkil al-Qur’a>n, 443.
[4] Abu> Ja’far al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n, ( al-Maktabah al-Sha>milah: Mu’assah al-Risa>lah, 2000), 468.
[5] Ibid.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n, Vol 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 182.
[7] QS. Al-Ma>idah [5]: 15-16.
[8] QS. Al-Nisa>’[4]: 174.
[9] QS. Al-Najm [53]: 3-4.
[10] QS. Al-H{ashr [59]: 7.
[11] Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az{i>m, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), 489.
[12] QS. Al-Fus{illat [41]: 44.
[13] Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az{i>m, 489.

tentang benar dan salah


Ketika Kebenaran Dibahasakan

Terkadang terbersit dalam pikiran kita "Apa itu kebenaran?", " Makhluk apa itu  kebenaran?" dan banyak lagi pikiran-pikiran yang mungkin sering terngiang. Ah yang pasti bahwa “benar” itu pasti “tidak salah”. Pertanyaan-pertanyaan kritis kita di masa kecil, misalnya mengapa gajah berkaki empat, mengapa burung bisa terbang, dan sebagainya, kadang tidak terjawab secara baik oleh orang tua kita. Sehingga akhirnya sering sesuatu kita anggap sebagai yang memang sudah demikian wajarnya (taken for granted).
Dalam area non-empirik, di mana tidak ada data dari observasi, manusia hanya bisa menggunakan logical reasoning dalam menganalisa statement atau argumentasi. Benar atau tidaknya secara faktual tidak ada yang bisa tahu karena tidak ada data observasi.
Dalam area moralitas, manusia berbeda dalam mendefisikan standard kebenaran. Ada yang menggunakan standard “survival the fittest”, siapa kuat dia yang mendefiniskan benar/salah; ada yang menggunakan standard “consensus of the majority”, suara terbanyak yang menentukan benar/salah; ada yang menggunakan standard “do unto others as you would have them do unto you”, perbuatan menjadi benar kalau disukai, kalau tidak disukai menjadi salah; ada pula yang menggunakan standard dalam kitab suci yang diyakini sebagai wahyu dari Tuhan pencipta manusia.
Salah satu contoh kasus, ingat cerita Robin Hood?, seorang kesatria yang senang menolong rakyat miskin, namun caranya adalah dia mencuri harta materi dari orang-orang kaya dan bangsawan kemudian hasil jarahannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Dari sudut pandang orang kaya yang hartanya di jarah, Robin Hood adalah penjahat yang patut dibantai, sedangkan dari sudut pandang orang miskin Robin Hood adalah ksatria pahlawan penolong orang lemah dan rakyat miskin.
Kalau kita renungkan dari kasus tersebut kebenaran dari sudut manusia menjadi bersifat relatif tergantung cara pandang masing-masing orang, bagaimana mengatasinya, yaitu dengan menggunakan indikator kebenaran sejati yaitu kebenaran Tuhan, bahwa yang namanya mencuri apapun alasannya adalah salah.
Inilah yang menjadi preseden buruk bagi kebanyakan paradigma orang, sehingga sampai-sampai membunuh pun bisa dibenarkan sesuai dengan sudut pandang manusia, misalnya membunuh karena alasan perang antara negara, seperti perang untuk mempertahankan kemerdekaan, atau perang atas nama agama dan lain-lain, padahal tidakkah seharusnya yang namanya membunuh adalah sama dengan menghilangkan nyawa orang lain dan adalah dosa. Inilah yang saya sebutkan tentang dilematis antara kebenaran relatif manusia VS kebenaran absolute Tuhan. Kebenaran manusia cenderung bersifat filosofis atau berbau filsafat sehingga akan selalu bermuara pada relatifitas, sedangkan kebenaran Tuhan seharusnya bersifat absolute, jika kebenaran Tuhan tidak mutlak maka Tuhan itu tidak eksis. Karena tidak mungkin Tuhan Yang Maha Kuasa membiarkan kebenaran menjadi kacau balau tanpa ada sebuah “pakem”, paling tidak jika saat ini sepertinya demikian faktanya.
Secara sederhana saya mengklasifikasikan kebenaran itu ke dalam dua hal, yaitu: Kebenaran yang bisa diraba oleh panca indera, logika akal dan budi, serta hati manusia, termasuk di dalamnya kebenaran ilmiah dan kebenaran filsafat, di mana ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan menalar, kemampuan berpikir, serta paradigma pikir orang tersebut. Dalam hal ini termasuk metodologi pembuktian suatu kebenaran. Salah satu contoh, kalau kita bicara jurnal ilmiah, maka seorang peneliti bisa saja menemukan kebenaran x, tetapi tak lama kemudian bisa juga peneliti lain membantah kebenaran x tersebut, dan kedua peneliti itu menggunakan metodologi penelitian yang sama, terutama dalam ilmu-ilmu sosial (paradigma anti-positivisme). Kalau ilmu alam, rasanya lebih mudah dibuktikan (paradigma positivisme).
Kebenaran yang belum bisa diraba oleh panca indera, logika akal dan budi, serta terkadang oleh hati manusia, yang mana kalau kita yakin itu benar, maka kita meng-iman-i kebenaran itu, tapi saat ini masih sulit dibuktikan dengan perangkat ilmiah yang ada. Pada wilayah ini, hanya iman yang berbicara, dan jangan didebat dengan perangkat duniawi seperti metodologi ilmiah, jadinya debat kusir. 

Rabu, 30 Maret 2011

Wanita Karier (Tinjauan Hadith Tematik)


  WANITA KARIER
(Kajian Hadith Tematik tentang Kebolehan Wanita Berkareir)
Oleh. Wie_aira

A.  Pendahuluan
Perempuan merupakan makhluk unik, yang  dalam dirinya banyak timbul pembahasan-pembahasan yang selalu aktual dan tiada henti-henti memunculkan pembahasan, oleh karena itu Al-Qur’a>n pun memberikan perhatian besar terhadap perempuan, terbukti dengan adanya surat yang menggunakan istilah perempuan yaitu Al-Nisa>’ dan Al-Mumtahanah.
Islam dipromosikan sebagai agama pembebasan terutama bagi perempuan, dapat di bayangkan bagaimana orang Arab yang sebelumnya dikenal pembunuh bayi perempuan kemudian diserukan untuk melakukan aqiqah atas kelahiran bayi perempuan, meski hanya dengan satu ekor kambing. Bagaimana masyarakat yang tidak mengenal hak waris bagi perempuan dan hak persaksian, tiba-tiba mendapatkan hak waris dan persaksian meskipun dalam batas 2:1.[1]
Dalam hal prinsip ketaqwaan, banyak ayat dan h{adi>th yang menjelaskan, salah satunya.
يَآ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات: 13)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini menjelaskan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sederajat, kemuliaan seseorang dihadapan Allah bukan berdasarkan jenis kelamin atau etnis, tetapi dari prestasi ibadah dan muamalah yang dilakukan yang dalam bahasa teologi disebut sebagai orang yang bertakwa.
Dalam kapasitasnya sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya, sebagaimana tersurat dalam al-Qur’a>n.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ (النحل: 97)
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’a>n yang memberikan gambaran yang menempatkan wanita dalam kedudukan yang sangat mulia, yang tidak terdapat pada kitab-kitab suci sebelumnya. Oleh karenanya, sungguh sangat mengherankan apabila wanita-wanita tidak diperbolehkan keluar, terutama ketika ingin melaksanakan ibadah. Tulisan ini mencoba mengambarkan bagaimana h{adi>th-h{adi>th nabi menanggapi permasalahan diperbolehkan atau dilarangnya wanita untuk keluar dari rumah guna melaksanakan ibadah dan aktivitas apapun. Selain itu, Tulisan ini juga mencoba untuk mengambarkan kapan idealnya wanita keluar dari rumah dengan ditemani mah{ram, dan kapan idealnya wanita boleh keluar rumah tanpa harus ditemani oleh mah{ram.







B.  H{adi>th tentang Kebolehan Wanita Berkarir di Luar Rumah
1.    H{adi>th Us{u>l
Muwat{t{a’ Ma>lik
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَاتِكَةَ بِنْتِ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ امْرَأَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهَا كَانَتْ تَسْتَأْذِنُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَسْكُتُ فَتَقُولُ وَاللَّهِ لَأَخْرُجَنَّ إِلَّا أَنْ تَمْنَعَنِي فَلَا يَمْنَعُهَا[2]
- و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسَاجِدَ كَمَا مُنِعَهُ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ فَقُلْتُ لِعَمْرَةَ أَوَ مُنِعَ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ الْمَسَاجِدَ قَالَتْ نَعَمْ[3]
S{ah{i>h{ al-Bukha>ri>
(Ba>b Khuru>j al-Nisa>’ ila> al-Masa>jid bi al-Lail wa al-Ghalas)
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ حَنْظَلَةَ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
تَابَعَهُ شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ[4]
(Ba>b Isti’dha>n al-Mar’at Zaujaha> bi al-Khuru>j ila> al-Masjid)
-حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَتْ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلَا يَمْنَعْهَا[5]
-حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَتْ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يَمْنَعْهَا[6]

S{ah{i>h{ Muslim
(Ba>b Khuru>j al-Nisa>’ ila> al-Masa>jid idha> Lam Yatarattab ‘Alaihi fitnah La> Takhruj Mutayyabat)
-حَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ سَمِعَ سَالِمًا يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا اسْتَأْذَنَتْ أَحَدَكُمْ امْرَأَتُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يَمْنَعْهَا
-حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
قَالَ فَقَالَ بِلَالُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ قَالَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ وَقَالَ أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ[7]
- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي وَابْنُ إِدْرِيسَ قَالَا حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ
- حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا حَنْظَلَةُ قَالَ سَمِعْتُ سَالِمًا يَقُولُ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
- حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَمْنَعُوا النِّسَاءَ مِنْ الْخُرُوجِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِاللَّيْلِ
فَقَالَ ابْنٌ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ لَا نَدَعُهُنَّ يَخْرُجْنَ فَيَتَّخِذْنَهُ دَغَلًا قَالَ فَزَبَرَهُ ابْنُ عُمَرَ وَقَالَ أَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ لَا نَدَعُهُنَّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَابْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنِي وَرْقَاءُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائْذَنُوا لِلنِّسَاءِ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسَاجِدِ
فَقَالَ ابْنٌ لَهُ يُقَالُ لَهُ وَاقِدٌ إِذَنْ يَتَّخِذْنَهُ دَغَلًا قَالَ فَضَرَبَ فِي صَدْرِهِ وَقَالَ أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ لَا
- حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ يَعْنِي ابْنَ أَبِي أَيُّوبَ حَدَّثَنَا كَعْبُ بْنُ عَلْقَمَةَ عَنْ بِلَالِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَمْنَعُوا النِّسَاءَ حُظُوظَهُنَّ مِنْ الْمَسَاجِدِ إِذَا اسْتَأْذَنُوكُمْ فَقَالَ بِلَالٌ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ أَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ أَنْتَ لَنَمْنَعُهُنَّ[8]
- حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي مَخْرَمَةُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ زَيْنَبَ الثَّقَفِيَّةَ كَانَتْ تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْعِشَاءَ فَلَا تَطَيَّبْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ
- حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ حَدَّثَنِي بُكَيْرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَتْ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا
- حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي فَرْوَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ
- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهَا سَمِعَتْ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالَ فَقُلْتُ لِعَمْرَةَ أَنِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مُنِعْنَ الْمَسْجِدَ قَالَتْ نَعَمْ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ يَعْنِي الثَّقَفِيَّ قَالَ ح و حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ قَالَ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ قَالَ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ كُلُّهُمْ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ[9]
Sunan Abi> Da>wud (Ba>b Ma> Ja>’a Fi> Khuru>j al-Nisa>’ ila> al-Masjid)
- حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلَاتٌ
- حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ
- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائْذَنُوا لِلنِّسَاءِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِاللَّيْلِ
فَقَالَ ابْنٌ لَهُ وَاللَّهِ لَا نَأْذَنُ لَهُنَّ فَيَتَّخِذْنَهُ دَغَلًا وَاللَّهِ لَا نَأْذَنُ لَهُنَّ قَالَ فَسَبَّهُ وَغَضِبَ وَقَالَ أَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائْذَنُوا لَهُنَّ وَتَقُولُ لَا نَأْذَنُ لَهُنَّ[10]
Sunan al-Nasa>’i> (al-Nahyu ‘an Man’u al-Nisa>’ min Itya>nihinna al-Masa>jid)
- حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَتْ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يَمْنَعْهَا[11]

(Ightisa>l al-Mar’at min al-T{i>b)
- أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَبَّاسِ الْهَاشِمِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ قَالَ سَمِعْتُ صَفْوَانَ بْنَ سُلَيْمٍ وَلَمْ أَسْمَعْ مِنْ صَفْوَانَ غَيْرَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَجُلٍ ثِقَةٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَتْ الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْتَغْتَسِلْ مِنْ الطِّيبِ كَمَا تَغْتَسِلُ مِنْ الْجَنَابَةِ مُخْتَصَر[12]
(al-Nahyu li al-Mar’ah An Tashhada al-S{ala>t Idha> As{a>bat Min al-Bakhu>r)
- أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ هِشَامِ بْنِ عِيسَى الْبَغْدَادِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَلْقَمَةَ الْفَرْوِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ
قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ لَا أَعْلَمُ أَحَدًا تَابَعَ يَزِيدَ بْنَ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَلَى قَوْلِهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَدْ خَالَفَهُ يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ رَوَاهُ عَنْ زَيْنَبَ الثَّقَفِيَّةِ
- أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا جَرِيرٌ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْعِشَاءَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ حَدِيثُ يَحْيَى وَجَرِيرٍ أَوْلَى بِالصَّوَابِ مِنْ حَدِيثِ وُهَيْبِ بْنِ خَالِدٍ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ
- أَخْبَرَنِي أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ يَعْقُوبَ الْحِمْصِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَشَجِّ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَيْنَبَ الثَّقَفِيَّةِ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيَّتُكُنَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا تَقْرَبَنَّ طِيبًا
- أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْقُرَشِيِّ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَشَجِّ عَنْ زَيْنَبَ الثَّقَفِيَّةِ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهَا أَنْ لَا تَمَسَّ الطِّيبَ إِذَا خَرَجَتْ إِلَى الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ
- أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ أَبِي مُزَاحِمٍ قَالَ أَنْبَأَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ هِشَامٍ عَنْ بُكَيْرٍ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَيْنَبَ الثَّقَفِيَّة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَرَجَتْ الْمَرْأَةُ إِلَى الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا
- أَخْبَرَنِي يُوسُفُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ بَلَغَنِي عَنْ حَجَّاجٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي زِيَادُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَيْنَبَ الثَّقَفِيَّةِ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الصَّلَاةَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا
قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ وَهَذَا غَيْرُ مَحْفُوظٍ مِنْ حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ[13]
(al-T{i>b)
- أَخْبَرَنِي أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ يَعْقُوبَ الْحِمْصِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَشَجِّ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَيْنَبَ الثَّقَفِيَّةِ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيَّتُكُنَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا تَقْرَبَنَّ طِيبًا
- أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ هِشَامِ بْنِ عِيسَى قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَلْقَمَةَ الْفَرْوِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ[14]

Sunan Ibn Ma>jah (Ba>b Fitnah al-Nisa>’)
- حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مَوْلَى أَبِي رُهْمٍ وَاسْمُهُ عُبَيْدٌ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ لَقِيَ امْرَأَةً مُتَطَيِّبَةً تُرِيدُ الْمَسْجِدَ فَقَالَ يَا أَمَةَ الْجَبَّارِ أَيْنَ تُرِيدِينَ قَالَتْ الْمَسْجِدَ قَالَ وَلَهُ تَطَيَّبْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَيُّمَا امْرَأَةٍ تَطَيَّبَتْ ثُمَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ لَمْ تُقْبَلْ لَهَا صَلَاةٌ حَتَّى تَغْتَسِلَ[15]
Musnad Ah{mad
- حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَتْ أَحَدَكُمْ امْرَأَتُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يَمْنَعْهَا[16]
- حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنِ الْأَعْمَشِ حَدَّثَنَا مُجَاهِدٌ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائْذَنُوا لِلنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ بِاللَّيْلِ قَالَ فَقَالَ ابْنٌ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَاللَّهِ لَا نَأْذَنُ لَهُنَّ يَتَّخِذْنَ ذَلِكَ دَغَلًا لِحَاجَتِهِنَّ قَالَ فَانْتَهَرَهُ عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أُفٍّ لَكَ أَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ لَا أَفْعَلُ[17]
- حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنِ الْأَعْمَشِ وَلَيْثٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائْذَنُوا لِلنِّسَاءِ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَالَ لَهُ ابْنُهُ وَاللَّهِ لَا نَأْذَنُ لَهُنَّ يَتَّخِذْنَ ذَلِكَ دَغَلًا فَقَالَ فَعَلَ اللَّهُ بِكَ وَفَعَلَ اللَّهُ بِكَ تَسْمَعُنِي أَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ أَنْتَ لَا قَالَ لَيْثٌ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ تَفِلَاتٍ
- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنِي حَنْظَلَةُ حَدَّثَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ[18]
- حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدٍ مَوْلَى أَبِي رُهْمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ تَطَيَّبَتْ ثُمَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ لِيُوجَدَ رِيحُهَا لَمْ يُقْبَلْ مِنْهَا صَلَاةٌ حَتَّى تَغْتَسِلَ اغْتِسَالَهَا مِنْ الْجَنَابَةِ[19]
- حَدَّثَنَا هَارُونُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُوَيْدٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ عَمَّتِهِ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي
قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ[20]
- حَدَّثَنَا خَلَفٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَرٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا مَا فِي الْبُيُوتِ مِنْ النِّسَاءِ وَالذُّرِّيَّةِ لَأَقَمْتُ الصَّلَاةَ صَلَاةَ الْعِشَاءِ وَأَمَرْتُ فِتْيَانِي يُحْرِقُونَ مَا فِي الْبُيُوتِ بِالنَّارِ[21]
Sunan al-Da>rimi>
(Ba>b H{adi>th Falam Yu’az{amhu wa Lam Yuwaqqirhu)
- أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ عَنِ الأَوْزَاعِىِّ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« إِذَا اسْتَأْذَنَتْ أَحَدَكُمُ امْرَأَتُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا ». فَقَالَ فُلاَنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ : إِذاً وَاللَّهِ أَمْنَعُهَا. فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ ابْنُ عُمَرَ فَشَتَمَهُ شَتِيمَةً لَمْ أَرَهُ شَتَمَهَا أَحَداً قَبْلَهُ ، ثُمَّ قَالَ : أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَتَقُولُ إِذاً وَاللَّهِ أَمْنَعُهَا؟[22]
(Ba>b al-Nahy ‘an Man’I al-Nisa>’ ‘an al-Masa>jid wa kaifa Yakhrujna Idha> Kharajna)
- أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِىُّ قَالَ حَدَّثَنِى الزُّهْرِىُّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -لى الله عليه وسلم- :« إِذَا اسْتَأْذَنَتْ أَحَدَكُمْ زَوْجَتُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا ».[23]
- أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلْيَخْرُجْنَ إِذَا خَرَجْنَ تَفِلاَتٍ ».
2.    H{adith Khus{u>m
S{ah{i>h{ al-Bukha>ri>
(Ba>b Fi> Kam Yaqs{ir al-S{ala>t)
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي أُسَامَةَ حَدَّثَكُمْ عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ [24]
(Ba>b Masjid Bait al-Muqaddis)
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ سَمِعْتُ قَزَعَةَ مَوْلَى زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُحَدِّثُ بِأَرْبَعٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي وَآنَقْنَنِي قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلَّا مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي [25]

(Ba>b H{ajj al-Nisa>’)
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا [26]
(Ba>b S{aum Yaum al-Nah{r)
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ قَزَعَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً قَالَ سَمِعْتُ أَرْبَعًا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا [27]
S{ah{i>h{ Muslim
(Ba>b Safar al-Mar’at Ma’a Mahram Ila> H{ajjin wa Ghairihi)
-حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو أُسَامَةَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي جَمِيعًا عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ فِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ و قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ فِي رِوَايَتِهِ عَنْ أَبِيهِ ثَلَاثَةً إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ [28]
-حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ جَمِيعًا عَنْ جَرِيرٍ قَالَ قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ وَهُوَ ابْنُ عُمَيْرٍ عَنْ قَزَعَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ مِنْهُ حَدِيثًا فَأَعْجَبَنِي فَقُلْتُ لَهُ أَنْتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَقُولُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَمْ أَسْمَعْ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ مِنْ الدَّهْرِ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا أَوْ زَوْجُهَا [29]
-وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ قَزَعَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعًا فَأَعْجَبْنَنِي وَآنَقْنَنِي نَهَى أَنْ تُسَافِرَ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ وَاقْتَصَّ بَاقِيَ الْحَدِيثِ [30]
-حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُغِيرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَهْمِ بْنِ مِنْجَابٍ عَنْ قَزَعَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ [31]
Sunan Abi> Dawud (Ba>b Fi> al-Mar’at Tah{jju bi Ghairi Mah{ram)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ [32]

Sunan al-Tirmidhi> (Ba>b Ma> Ja>’a Fi> Karahiyyatin An Tufa>sira al-Mar’at wah{daha>)
-حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ ابْنُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا
وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَرُوِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُسَافِرَ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْمَرْأَةِ إِذَا كَانَتْ مُوسِرَةً وَلَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ هَلْ تَحُجُّ فَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَجِبُ عَلَيْهَا الْحَجُّ لِأَنَّ الْمَحْرَمَ مِنْ السَّبِيلِ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ{ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا }فَقَالُوا إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا مَحْرَمٌ فَلَا تَسْتَطِيعُ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِذَا كَانَ الطَّرِيقُ آمِنًا فَإِنَّهَا تَخْرُجُ مَعَ النَّاسِ فِي الْحَجِّ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ[33]

Sunan Ibn Ma>jah (Ba>b al-Mar’at Tah{ajju Bi>ghairi wali>yin)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ سَفَرًا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلَّا مَعَ أَبِيهَا أَوْ أَخِيهَا أَوْ ابْنِهَا أَوْ زَوْجِهَا أَوْ ذِي مَحْرَمٍ [34]
Musnad Ah{mad
-حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
-حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ قَزَعَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رِوَايَةً يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
-حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ قَالَا حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ و حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ ذَكْوَانَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ سَفَرَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلَّا مَعَ أَبِيهَا أَوْ أَخِيهَا أَوْ ابْنِهَا أَوْ زَوْجِهَا أَوْ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ [35]
Sunan al-Da>rimi> (Ba>b La> Tufa>sir al-Mar’at Illa> Ma’aha> Mah{ram)
أَخْبَرَنَا يَعْلَى حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ سَفَراً ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِداً إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا ». [36]


C.  Analisis
Dari paparan beberapa h{adi>th di atas, pada h{adi>th-h{adi>h us{u>l, dengan tegas Rasulullah saw memerintahkan sahabat-sahabatnya agar tidak melarang wanita-wanita untuk keluar mengerjakan s{alat di masjid, dan pada h{adi>th-h{adi>th khusu>m, dinyatakan bagaimana rasulullah melarang wanita-wanita untuk keluar dari rumah tanpa disertai mah{ram, maka dapat disimpulkan adanya kontradiksi terhadap beberapa riwayat tersebut.
Terkait dengan kedua h{adi>th tersebut (baik us{u>l maupun khu>su>m), ada dua persoalan mendasar yang perlu untuk disikapi, yaitu kapankah idealnya wanita keluar dari rumah harus bersama dengan mahram? Dan kapankah idealnya wanita boleh keluar rumah tanpa mahram?.
Menyikapi hal tersebut, sekalipun adanya kontradiktif antara h{adi>th-h{adi>th us{u>l maupun h{adi>th khusu>m, keduanya sebenarnya dapat dipahami dengan pemahaman sejalan, yaitu dengan melakukan metode al-jam’u, dalam hal ini dengan cara takhsi>sh al-‘a>m.
H{adi>th yang menyatakan bahwa wanita tidak boleh bepergian kecuali disertai dengan mahram, salah satunya seperti yang terbaca dalam h{adi>th imam al-Buhka>ri>:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Dan beberapa riwayat yang lain (dari h{adi>th-h{adi>th khusu>m), yang bertema sama, kesemuanya tersebut mengindikasikan tidak diperbolehkannya wanita keluar rumah sendirian, tanpa ditemani oleh mah{ram, toh sekalipun hal tersebut dilaksanakan untuk beribadah.  Akan tetapi, ketika kita mencermati kembali beberapa h{adi>th yang lain, seperti h{adi>th yang diriwayatkan Abu> Sa’i>d al-Khudri>:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي وَآنَقْنَنِي قَالَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلَّا مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ وَلَا صَوْمَ فِي يَوْمَيْنِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي
          Materi yang sama juga terdapat dalam h{adi>th dari Sunan al-Tirmidhi>
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ ابْنُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا
            Dari h{adi>th-h{adi>th khusu>m tersebut setidaknya ada beberapa kata kunci yang bisa ditarik kesimpulan, seperti la> tufa>sir, yang mengindikasikan bahwa  aktifitas bepergian yang dilakukan oleh wanita tersebut adalah aktifitas bepergian ke tempat jauh, yang kemudian ditegaskan dengan kalimat thala>thata aya>min, yang juga memberi ketegasan bahwa aktifitas itu tidak hanya di tempat yang jauh, tetapi juga tidak dilakukan dalam jangka waktu sebentar, akan tetapi cukup lama (tiga hari). Selain itu, kalimat la> tushaddu al-rih{a>l mengambarkan bahwa aktifitas itu bisa jadi seperti wisata religi, seperti ziarah kubur kepada orang-orang s{aleh.
            Jika diperhatikan, larangan kepada wanita untuk bepergian kecuali ada mah{ram tersebut dikarenakan faktor eksternal yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki agama, seperti faktor keamanan pada diri wanita tersebut, kekhawatiran kepergian wanita tersebut bisa meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri, dan bisa menimbulkan fitnah. Akan tetapi, ketika kita memperhatikan h{adi>th dari Sunan al-Tirmidhi>, imam al-Tirmidhi> menjelaskan bahwa sebagian ulama, seperti imam Ma>lik dan al-Sha>fi’i> berpendapat bahwa wanita boleh keluar dari rumah, seperti menjalankan ibadah haji, tanpa ditemani oleh mah{ram, jika dirasa perjalanan itu aman, dan ditempuh bersama banyak orang, yang berarti terdapat pimpinan rombongan.[37]     
Jadi, bukan berarti melarang sama sekali wanita untuk keluar dari rumah, selama dirasa aman dan tidak menimbulkan fitnah, maka wanita boleh dan bisa keluar dari rumah tanpa mah{ram. Hal ini seperti yang digambarkan dalam h{adi>th-h{adi>th us{u>l bahwa nabi Muh{ammad melarang para sahabatnya untuk tidak mengizinkan para istrinya untuk pergi beribadah ke masjid, sekalipun itu pada malam hari. Hanya saja ketika wanita diizinkan untuk keluar rumah, maka wanita harus memperhatikan segi kehormatan dan kesucian dirinya, seperti ketika hendak melaksanakan ibadah berjama’ah di masjid, maka hendaknya ia (wanita) tidak memakai wewangian, sebab pemakaian wewangian tersebut dikhawatirkan dapat menganggu jama’ah lain dalam melaksanakan ibadahnya, misalnya dapat menimbulkan ‘rangsangan’.  
Dahulu ada juga ulama yang melarang wanita ke masjid dengan alasan khawatir terjadi “rangsangan” atau bercampurnya lelaki dengan wanita. Terkait dengan hal tersebut, Imam al-Shafi’I menganjurkan menganjurkan wanita-wanita tua agar tetap melakukan s{alat di masjid, dan beliau hanya menilainya makruh bagi wanita muda dengan alasan kekhawatiran “ransangan” tersebut.
Adapun riwayat dari Ah{mad Ibn H{anbal, yang menyatakan bahwa s{alat wanita lebih baik di rumah, hal tersebut sebagai ke-afd{al-an saja, ini terbaca dari kata ‘khair’, yang mengindikasikan adanya pilihan bagi wanita untuk melaksanakan s{alatnya di rumah atau di masjid, sekalipun lebih utama bila ia melaksanakannya di rumah.
Selain itu, sebenarnya al-Qur’a>n juga membahas persoalan yang menyangkut keberadaan wanita di dalam atau di luar rumah, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ah{za>b ayat 33:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
‘Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…’
Selain h{adi>th-h{adi>th khusu>m di atas, ayat ini sering kali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita ke luar rumah. Padahal ayat ini bisa juga dipahami sejalan, yaitu bolehnya wanita keluar rumah untuk keperluan tertentu. Ibnu Kathi>r berpendapat bahwa larangan tersebut merupakan larangan bagi wanita untuk keluar rumah, jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama.[38]
Al-Maududi>, sebagaimana yang dikutip oleh M. Quraish Shihab, menyatakan tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan sharat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.[39]
Sayyid Qut{b, dalam tafsirnya Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, menulis bahwa arti waqarna dalam firman Allah. Waqarna fi buyutikunna, berarti, berat, mantap dan menetap. Tetapi tulisnya lebih jauh, ini bukan berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.[40]
Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Di sisi lain, perkembangan zaman dan pergaulan masa kini, sudah amat mengurangi kekhawatiran timbulnya dampak pergaulan bila itu diadakan dalam ruang terbuka yang dihadiri oleh banyak orang, serta dilaksanakan dalam suasana keagamaan. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang melarang sama sekali wanita ke luar rumah tidak dapat bertahan dan dipertahankan. Mengabaikan wanita dan tidak melibatkannya dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat, berarti menyia-yiakan paling tidak setengah dari potensi masyarakat.
D.  Kesimpulan
Dalam beberapa uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa wanita diperbolehkan pergi keluar rumah tanpa mah{ram bila dirasa aman, tidak dalam perjalanan yang sangat jauh, tidak menimbulkan fitnah,  tidak meninggalkan kewajiban sebagai seorang istri, dan perjalanan tersebut ditempuh bersama banyak orang. Sebaliknya, jika beberapa faktor tersebut dikhawatirkan akan terjadi, maka sebaiknya wanita tetap bepergian dengan mah{ram atau seseorang yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kesuciannya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukha>ri>, Abu> ‘Abd Allah Muh{ammad Ibn Isma>'i>l Ibn Ibrahim ibn al-Mughi>rah Ibn Bazdaban. S{ah{i>h al-Bukha>ri>. Juz II, III, VII. Bairut: Da>r al-Fikr, 2000.

Al-Da>rimi>, Abu> Muh{ammad. Sunan al-Da>rimi>, Juz I. Maktabah Shamilah: tt, tth.
H{anbal, Ah{mad Ibn. Musnad al-Ima>m Ah{mad Ibn H{anbal. Juz 20. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1993.

Ibn H{ajja>j, Abu> H{usain Muslim. Al-Ja>mi’ Al-S{ah{i>h{. Juz V. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

Istibsyarah. Hak-Hak Perempuan. Jakarta: Teraju, 2004.

Kathi>r, Ibn. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az{i>m. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004.

Ma>jah, Ibnu. Sunan Ibn Ma>jah. Juz XII. Mauqi’ al-Isla>m: www.al-islam.com, t.th.

Al-Muba>rakfu>ri>, Muh{ammad ‘Abd al-Rah{man Ibn ‘Abd al-Rah{i>m Abu> al-‘Ala>.  Tuh{fat al-Ah{wadhi> bi> Sharh{ Ja>mi’ al-Tirmidhi>. Juz III. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’a>n; Tafsir Maud{u’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet XV. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.

Al-Sijastani>, Abu> Dawu>d Sulaima>n Ibn al-Ash'ath. Sunan Abi>  Dawu>d, Juz 11. Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Al-Suyut{i>, Al-H{afid{.  Jalal Al-Din Sunan Al-Nasai>. Juz III. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1930.

Al-Tirmi>dhi>, Abu> ‘Isa> Muh}ammad bin Ibnu Sawrah bin Mu>sa> bin al-D{ah}h}ak al-Sulami> al-Bughi. Sunan al-Tirmi>dhi>. Juz VIII. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Qut{b, Sayyid. Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Tura>th al-‘Ara>bi>, 1971.


[1] Istibsyarah, Hak-Hak Perempuan (Jakarta: Teraju, 2004), 8.
[2] Ma>lik, Muwat{t{a’, Juz 2, (Maktabah Sha>milah: tt, tth), 108.
[3] Ibid, 109.
[4] Abu> ‘Abd Allah Muh{ammad Ibn Isma>'i>l Ibn Ibrahim Ibn al-Mughi>rah Ibn Bazdaban al-Bukha>ri>, S{ah{i>h al-Bukha>ri>, Juz III, (Bairut: Da>r al-Fikr, 2000), 374
[5] Ibid., 385.
[6] Ibid., Juz XVI, 268.
[7] Abu> H{usain Muslim Ibn H{ajja>j, Al-Ja>mi’ Al-S{ah{i>h{, Juz II, (Beirut: Da>r al-Fikr, tt), 439.
[8] Ibid., 441-445.
[9]  Ibid.{, 446-449.
[10] Abu> Dawu>d Sulaima>n Ibn al-Ash'ath al-Sijastani>, Sunan Abi>  Dawu>d, Juz 11, (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 174-178.
[11] Al-H{afid{  Jalal Al-Din Al-Suyut{i>, Sunan Al-Nasai>, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1930), 118.
[12] Ibid., Juz XV, 372.
[13] Ibid.>, Juz XV, 374-380.
[14] Ibid., Juz XVI, 337.
[15] Ibnu Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, Juz XII, (Mauqi’ al-Isla>m: www.al-islam.com, t.th), 5.
[16] Ah{mad Ibn H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah{mad Ibn H{anbal, Juz IX, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1993), 364.
[17] Ibid., Juz XII, 365.
[18] Ibid., Juz XIII, 73 dan 192.
[19] Ibid.,Juz XIX, 393.
[20] Ibid., Juz 5, 45.
[21] Ibid., Juz 17, 483.
[22] Abu> Muh{ammad al-Da>rimi>, Sunan al-Da>rimi>, Juz I, (Maktabah Shamilah: tt, tth), 490.
[23] Ibid, Juz IV, 48-49.
[24] Al-Bukha>ri>, S{ah{i>h al-Bukha>ri>…, Juz IV, 232.
[25] Ibid., Juz VII, 188.
[26] Ibid., Juz VI, 409.
[27] Ibid., Juz VII, 119.
[28] Abu> H{usain Muslim Ibn H{ajja>j, Al-Ja>mi’ Al-S{ah{i>h..., Juz VII, 44.
[29] Ibid., 46.
[30] Ibid., 47.
[31] Ibid., 49.
[32] Abu> Dawu>d, Sunan Abi>  Dawu>d…, Juz V, 43.
[33] Al-Tirmi>dhi>, Sunan al-Tirmi>dhi>…, Juz IV, 401.
[34] Ibnu Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah…, Juz VII, 447.
[35]  Ah{mad Ibn H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah{mad Ibn H{anbal…, Juz IX, 422.
[36] Al-Da>rimi>, Sunan al-Da>rimi>…, Juz VII, 301.
[37] Muh{ammad ‘Abd al-Rah{man Ibn ‘Abd al-Rah{i>m Abu> al-‘Ala> al-Muba>rakfu>ri>, Tuh{fat al-Ah{wadhi> bi> Sharh{ Ja>mi’ al-Tirmidhi>, Juz III, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 249.
[38] Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az{i>m, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), 489.
[39] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’a>n; Tafsir Maud{u’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet XV (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), 304.
[40] Sayyid Qut{b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Tura>th al-‘Ara>bi>, 1971), 422.