Sabtu, 09 Juli 2011

For Share: Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta

For Share: Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta: "Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta Seperti biasanya, dari kepenatan aktivitas sehari-hari yang terkadang menjenuhkan, facebook atau lebih ..."

For Share: Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta

For Share: Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta

Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta

Lomba Dunia Maya- Si Penggoda Cinta

Seperti biasanya, dari kepenatan aktivitas sehari-hari yang terkadang menjenuhkan, facebook atau lebih populer dg FB menjadi satu-satunya jurus ampuh mengembalikan mood-ku yang “amburadul”. Ya, di-FB, aku bisa membaca segala bentuk ekspersi hati dari yang berbunga-bunga hingga yang mengharu biru, dari cerita tentang tetek bengek di kampus, dosen yang killer, tugas menumpuk, deadline, sesekali pula bertutur soal gossip yang lagi hot antar teman kos. Selebihnya, tak henti-hentinya, persoalan cinta memenuhi beranda FB.
Pagi itu, ketika membuka FB, aku temukan satu pesan masuk, yang juga meminta konfirmasi untuk menjadi temanku. Mat Artil, begitu nama tertera yang bisa ku baca. Bukan nama asli tentunya, tapi aku seperti mengenal sosok lelaki itu. Sosok yang indah dipandang mata. Cukup lumayan ganteng! Pikirku.
“Win, nak balik kampong ta?? Elok sangat dirimu sekarang!”  begitu lelaki itu mengawali perbincangan kami. Biasa-biasa saja sebenarnya. Dari bahasa yang digunakan, aku pun bisa memahami bahasa yang digunakannya. Bahasa melayu yang dicampur dengan bahasa jawa. Bahasa yang biasa digunakan oleh tetanggaku, kerabatku bahkan orang tuaku yang baru pulang di negeri seberang, menjadi pahlawan devisa alias Tenaga Kerja Indonesia.
Setelah mengkonfirmasi dan mencoba mengingat-ingat lelaki itu. Sebuah bayangan memori muncul. Ingatanku kembali pada beberapa tahun silam, sewaktu aku masih duduk di bangku SMA, lelaki itu pernah bertandang ke rumahku, menemui kakakku. Ya, ku ingat! Dia adalah lelaki yang sama, adik dari suami sepupuku, adik kak Rusli. Tapi aku sedikit ragu, dan ingin memastikannya.
“Siapa? Adik kak Rusli ya?” tanyaku meragu. Mencoba meyakinkan pengelihatan dan ingatanku bahwa lelaki memang benar-benar sosok yang aku kenal, sekalipun aku belum melihatnya lagi secara nyata.
“Ya, kok bisa tahu? Mirip ya? Begitu dia akhirnya meyakinkan keraguanku.
“He’em”, jawabku singkat.
Setelah saling berbalas pesan, komunikasiku dengannya terus berlanjut. Dari pertanyaannya tentang statusku, apakah telah memiliki kekasih sampai jurus andalannya, rayuan maut, bahwa suatu keberuntungan orang yang bisa menjadikanku sebagai istri.
Melihat beberapa pesannya, kadang membuatku terdiam sendiri, sementara aku tetap menelusuri tiap-tiap kata lelaki itu, suatu kali bahkan kedengarannya sangat indah. Tapi kuputuskan untuk jujur pada dirinya dan diriku sendiri bahwa aku telah memiliki seorang kekasih yang aku jalani dengan serius. Walau dengan kejujuran itu, lelaki itu tetap tak bergeming dan terus saja meneruskan usahanya untuk bisa dekat denganku serta niatnya untuk memiliki hatiku.
“Aku merasa sudah benar-benar jatuh cinta padamu, Win!” serunya pada pesan berikutnya.
“Kamu bisa saja!” pekikku. “Aku menghargai perasaanmu, tapi engkau pun tahu bahwa aku telah mencintai seseorang dan menjadikannya sebagai kekasihku.”
“Aku tahu, tapi tak adakah kesempatan bagiku walau hanya sedikit”, lanjutnya.
“Tentu ada, tapi hanya sebatas sebagai teman saja, maaf!”
“Aku tetap akan menunggumu” tulis lelaki itu tetap tak mau mengerti.
Ketika itu aku kehabisan akal untuk memberinya pengertian tentang suatu relasi hubunganku dengannya, yang hanya sebatas teman. Akan tetapi, tetap saja lelaki itu tak peduli, bahkan acapkali mengodaku dengan pesannya dari ‘I love you’, ‘I miss you sampai perhatian-perhatian yang dirangkai dalam kata-kata cantik, yang akhirnya kurespon dengan joke-joke saja.
Meski aku belum mengerti dengan jalan pikiran lelaki itu. Pada dasarnya, kedekatanku dengan lelaki itu hanya secara kata-kata di-incoming message FB-ku saja. Sebisa mungkin, aku tetap mengindahkan kata dan menghormatinya, sebab baik aku maupun kekasihku-yang sudah mengetahui perihal lelaki ini- menyadari bahwa lelaki itu adalah adik ipar dari sepupuku, yang tentunya masih kerabat  jauh. Aku sendiri tak menginginkan hubunganku dengan lelaki itu berubah menjadi hubungan permusuhan, yang berimbas rusaknya hubungan baikku dengan keluarga suami sepupuku, akibat dari ketidaksopanan kata-kataku padanya. Aku hanya ingin memberinya pengertian dengan santun. Selain itu, siapa tahu akan terjadi relasi bisnis sebab ia salah satu dari tenaga kerja Indonesia yang sukses dengan usahanya mengikuti bisnis multi level marketing di sana.
Sekali waktu, aku coba memberanikan diri menanyakan siapa kekasihnya. Siapa tahu, kita bisa share tentang hubungan masing-masing, yang selalu dijawabnya dengan kalimat, “tidak punya” (huh!). Entahlah, aku tidak begitu percaya dengan jawabannya. Melihat tampangnya yang cukup menarik dan pintar bermain kata, tentu dia bukan lelaki yang sedang men-jomblo. Apalagi hubunganku dengannya hanya via message di-FB saja, yang cuma mengandalkan kepandaian mengolah kata-kata. Dengan kata-kata dia bisa jadi apa saja. Coba, dia bisa saja mengaku seorang penguasa, psikolog, bahkan pura-pura jadi jomblo sejati…hahaha!.
Sinting! Pikirku. Sebenarnya, tak ada enaknya berkomunikasi dengan orang yang tak kita kenali secara fisik, bahkan perasaan kita sampai termakan cuma lewat relasi kata-kata yang kemungkinan ngedobos (membual atau omong kosong)!.  Walau terkadang katanya ada yang benar-benar  jujur juga, tetapi bagiku tetap sedikit aneh menjalin relasi dengan awal dan media seperti ini.
Setelah beberapa hari tidak on-line, pagi-pagi sekali aku menyalahkan laptop dan membuka www.facebook.com,  mengetik user ID pada kolom yang tersedia, lalu password, enter. Wuss…wuss… ada new message pada inbok-ku, ketika kuklik, ternyata dari Mat Artil, lelaki itu lagi, “Besok lusa, aku pulang ke Indonesia, bisakah kita jalan-jalan ke pasir putih?” tulisnya.  
Rumahku memang cukup dekat dengan pasir putih Dalegan Gersik. Tempat rekreasi sekaligus tempat nongkrong anak muda, terutama para sejoli yang sedang memadu kasih. “Waduh! Belum juga mengenalku, sudah mau ngajak nge-date segala”, gerutuku. Bagaimana pun aku tak mau dia berpikir lain, ketika aku meng-iya-kan ajakannya, oleh sebab itu aku berusaha menolak ajakannya sesantun mungkin, yang tak menyinggung tentunya.
“Maaf, bukannya aku tak mau pergi bersamamu, akan tetapi terlalu aneh bagiku bepergian dengan seseorang yang baru aku kenal beberapa hari, kau belum mengenalku, begitu pun sebaliknya, sekalipun kau masih kerabat jauh. Jadi, bagaimana kalau lain kali saja..bla..bla…bla”. Celotehku panjang lebar.
“Tetap saja kita harus bertemu” pintanya.
Bertemu? Aku terperangkap angan itu. Siapkah aku? Aku terlanjut terperangkap pada hubungan dunia maya, walau bukan mustahil hubunganku dengannya menjadi wujud yang nyata. Tapi jika kemudian dengan bertemu, relasi ini justru burai, lerai, tak lagi membentuk wujud komunikasi yang indah. Ih, aku menggidik sendiri.
“Lihat nanti saja ya” jawabku penuh keraguan.
“Apakah kau malu pergi denganku yang tak pernah men-jamah bangku kuliah?, tak sederajat denganmu”, tulisnya lagi.
Inilah yang sungguh kutakutkan, prasangka yang berlebihan. Memang di desaku, kuliah adalah menjadi sesuatu yang langka dan tak murah. Tak banyak pemuda-pemudi yang mengenyam bangku kuliah. Karena terlalu besarnya biaya pendidikan, kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk bekerja, baik itu ke luar kota bahkan keluar negeri.
“Bukan begitu, tak ada kasta di mata Tuhan, hanya saja aku takut menimbulkan fitnah, apalagi aku sekarang sedang serius dengan seseorang. Kalau kau berkenan bagaimana kalau kita mengobrol santai di rumah sepupuku, ketika kamu ada kesempatan main ke rumah mbak iparmu, lebih aman dan tentu terjauh dari prasangka negatif, mungkin juga kita bisa menjadi teman yang baik”, aku mencoba dengan tulus meyakinkannya.
“Okelah kalau begitu, kita bertemu di rumah mbak iparku saja”, begitu akhirnya dia mengiyakan keinginanku.
Hari kedatangannya pun datang. Sebenarnya selain niat memberi penjelasan tentang relasi kami berdua, aku juga cukup penasaran dengan dirinya, yang seolah-olah getol  sekali mengincarku, hingga sempat sedikit mengoyah keteguhanku akan sebuah kesetian. Tapi di hari itu juga, tanpa aku sengaja, ketika samar-samar aku mendengar tanteku bercerita tentang adik ipar sepupuku yang datang dari Malaysia bersama istrinya, yang telah ia nikahi di malaysia. Duarr! Kaget sekali aku mendengarnya. Pura-pura tak tahu apa-apa, aku bertanya, “Memang siapa yang pulang dengan membawa istrinya te?”.
“Ituloh adik ipar sepupumu yang ada di desa Tirem, Muslihun”,  ujarnya.
“Muslihun?” tanyaku lagi.
“Iya”, jawabnya menegaskan.
Ups! Mungkin aku kena sindrom altruisme[1] semu, sehingga kenalan dan ngobrol beberapa kali dengan seorang lelaki, tapi lupa menanyakan nama aslinya. Sedikit menertawakan kekonyolanku sendiri, aku juga merasa jengkel sekaligus marah mendengar kabar tentang statusnya. Kemarahanku ini, bukan karena ia mengecewakanku atau aku telah mengharapkannya, tetapi tentu saja karena lelaki itu telah membohongiku  serta melecehkanku. Mengingat dia yang masih kerabat denganku, maka kemarahanku juga tak terbendung, banyak pikiran-pikiran yang berkejaran di otakku. Bagaimana kalau istrinya tahu? Bagaimana kalau ada keluarga yang mengetahui tingkah lakunya tersebut? Tentu cukup memberi alasan pertengkaran antar keluarga. Ingin rasanya, aku me-labrak-nya secara langsung. Akan tetapi, niat itu aku urungkan. Ya, gengsi juga kalau ku marah-marah padanya, takutnya, nanti diriku dianggap menyukainya, tentu hal tersebut makin meninggikan pesona dan percaya dirinya. Akhirnya, aku tunggu dia berkirim message dulu dan menanyakannya secara perlahan perihal berita itu.
Massage yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. “Win, aku sekarang sudah di rumah. Kapan kita bisa bertemu?”, begitu bunyi massage itu.
“Heem, kapan ya?, kalau boleh tahu, siapa si sebenarnya namamu?”, tanyaku tanpa pedulikan pertanyaannya.
“Mohammad Muslihun”.
“Memang kenapa win?”, tanyanya balik.
“Gak apa-apa, pingin tahu saja, masak ngobrol selama beberapa hari kok tidak tahu nama aslinya”, kataku sedikit berbohong. “Sit!! Ternyata memang benar dia orang yang dibicarakan tanteku”, gumamku dalam hati.
“Oh, kirain kenapa?”, balasnya lagi.
“Dengar-dengar, katanya kamu pulang ke kampung membawa istri ya? Boleh kenalan gak?”, tanyaku kembali.
“Wust! Ngawur!” lelaki itu membalas dengan sengit, “Kata siapa? Berita bohong itu”, kelitnya.
“Kapan kita bertemu?”, Tanyanya kembali, sebelum aku sempat membalas pesan terakhirnya.
“Gak tahu!”, tulisku singkat.
Percakapan hari itu pun berhenti di situ. Aku mulai sedikit malas meladeninya. Aku juga takut dianggap wanita nakal, berkirim pesan dengan suami orang.
Keesokan harinya, aku mendengar berita yang sama seperti yang pernah aku dengar dari tanteku. Kali ini, tidak hanya dari tanteku, bahkan berita perihal pernikahan lelaki itu dengan orang Batam, aku dengar secara langsung dari sepupuku dan suaminya yang lagi asik memperbincangkan hal tersebut. Setelah mendengar itu, maka tidak ada keraguan lagi bagiku untuk tidak mempercayai berita itu. Melalui saran dari kekasihku juga, yang sudah aku ceritakan perihal berita itu, menyarankanku  untuk tak usah merasa tidak enak lagi kalau harus menolaknya secara blak-blakan tanpa harus mengindahkan kata-kata ataupun bersopan-santun ria.  Tetapi akan, tetap saja aku menunggu pesannya datang terlebih dahulu.
“Win, bagaimana? Kapan kita jadi bertemu?”, begitu pesan itu tertulis.
“Maaf, aku takut kalau harus ketemuan dengan suami orang, entar malah jadi berabe”, jawabku.
“Kata siapa aku sudah beristri? Jangan ngawur! Jadi ketemuan kan?”, kelitnya sekaligus bertanya tentang pertemuan kita lagi.
“Kak Rusli, kakak kandungmu” tegasku. “Maaf aku tak bisa kalau harus ketemuan dengan istri orang, takutt!!”.
Kali ini, mungkin dia sudah tak bisa berkutik lagi, maka dia pun membalas pesanku dengan singkat, “Yowes kalau gak gelem (ya sudah kalau tidak mau)”.
Begitulah pesan terakhirnya, mengunjungi inbok FB-ku, yang tak terpahami, termengerti, kecuali aku mencoba menerima silaturrahminya demikian, cuma demikian.
Dan ketika segala kabar melalui pesan-pesan yang dia kirimkan benar-benar lenyap. Aku merasa lega, tidak lagi bermain-main dengan seseorang yang diam-diam meracuni inderaku untuk masuk, larut ke dalam relasi kata-katanya. Sudahlah, sekarang dia hanya teman di FB, yang statusnya hanya numpang mampir di berandaku saja.
Dari kejadian itu, ku sadari dua hal perihal cinta dan berada dalam cinta. Adanya perbedaan yang mendasar antara “love” dan “to be in love”. Cinta bisa diilustrasikan seperti buah-buahan segala musim, setiap orang dapat memetiknya kapan saja, secara tidak terbatas. Mungkin inilah yang sedang dialami lelaki itu. Tapi, “berada dalam cinta” adalah sebuah tindakan yang memerlukan komitmen antara dua pihak yang saling mencinta, tanpa paksaan dan rekayasa. So seseorang bisa saja mengatakan kepadamu “ I love you but I can’t in love you”. Sebaliknya, demikian juga kamu bisa mengatakannya kepada seseorang. Walau pun tak mungkin kau berada dalam cinta. Ya, mungkin dia sempat mengodaku dengan membawa ungkapan-ungkapan cinta yang indah, akan tetapi tentu saja, aku tak mungkin berada dalam cinta bersamanya, selain karena tak ada komitmen yang saling mencinta, masing-masing dari kita telah memiliki orang yang mencintai dan yang kita cintai.


 


[1]Paham yang menitik beratkan kehidupan manusia pada empati atau perhatian kepada orang lain.