Kamis, 31 Maret 2011

Kajian Tafsir Tematik 1


AL-QUR’A>N SEBAGAI RU>H
(Kajian Tafsir Tematik tentang al-Qur’a>n sebagai World View)
                                                  Oleh: Wie_Aira

Pendahuluan
Ru>h dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, wahyu, malaikat, perintah dan rahmat.[1] Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kata ruhaniyyun digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti: malaikat dan jin.[2]
Terdapat 19 ayat yang menyebut kata “ru>h” dalam al-Qura>n. al-Qur'a>n sendiri, antara lain, menggunakan kata ru>h untuk menunjukkan makna malaikat (QS. al-Syu'ara>' [26]: 193), (QS. al-Baqarah [2]: 253),  (QS. al-Qadr [97]:4), (QS. al-Naba>’ [78]: 38),  (QS. al-Isra>’ [17]: 85), (QS. al-Ma’a>rij [70]: 4), rahmat Allah (QS. al-Muja>dalah [58]: 22), (QS. al-Wa>qi’ah [56]: 89), (QS. Yu>suf [12]: 87),  proses peniupan ruh pada ke dalam tubuh manusia (QS. al-Sha>ffa>t [37]: 7-9),  (QS. al-Anbiya>’ [21]: 91), (QS. al-Sajadah [32]: 9), (QS. al-H{ijr [15]: 29), (QS. S{a>d [38]: 72), dan dalam konteks ru>h yang memiliki pengertian wahyu, terdapat tiga ayat yang membahasnya, yaitu (QS. Al-Mu’min [40]: 15), (QS. al-Shu>ra> [42]: 52), dan (QS. al-Nah{l [16]: 2.
Mengenai penamaan Al-Qura>n dengan ru>h bukan kebetulan dan tanpa hikmah, seperti juga nama dan sifat lain yang dimiliki oleh al-Qura>n yang mencerminkan fungsi dan perannya yang komprehensif dan universal. Ibn Qutaibah, dalam Ta’wi>l Mushkil al-al-Qur’a>n, menyatakan bahwa firman Allah dinamakan ru>h karena dapat menyelamatkan dari kebodohan dan mematikan kekufuran.[3] Oleh karenanya, betapa hanya al-Qura>n yang bisa diandalkan menyelesaikan masalah kemanusiaan dalam segala bentuknya. Tulisan ini mencoba menginterpretasikan bagaimana al-Qur’a>n sebagai ru>h (world view) dalam kehidupan manusia.

al-Qur’a>n Sebagai Ru>h (World View)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam konteks ru>h yang memiliki pengertian wahyu, terdapat tiga ayat yang membahasnya, yang penulis sesuaikan dengan urutan masa turun ayat, maka sistematika urutan ayat tersebut yaitu (QS. al-Mu’min [40]: 15), (QS. al-Shu>ra> [42]: 52), dan (QS. Al-Nah{l [16]: 2. Adapun setelah mencermati berbagai kaidah dan keumuman dan kekhususan lafad yang dibahas, maka penulis men-sistematiskan ayat yang dibahas dalam tulisan ini dengan urutan: 1) (QS. al-Mu’min [40]: 15), 2) (QS. al-Nah{l [16]: 2), dan 3) (QS. al-Shu>ra> [42]: 52), sebagai berikut:
Surat al-Mu’min ayat 15
رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِ  
“(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, yang mempunyai 'Arsh, yang memberi ruh dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari Pertemuan (hari kiamat).”

Surat Al-Nah{l ayat 2
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ  
“Dia menurunkan Para Malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, Yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwa tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku".
Surat al-Shu>ra> Ayat 52
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  
“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan wahyu itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”

Terkait dengan ke-tiga ayat tersebut, berikut akan dibahas lebih lanjut:
1.  Munasabah Ayat Dengan Surah Masing-Masing
a.    Surat al-Mu’min ayat 15
Ayat sebelumnya (QS. al-Mu’min: 14) berbicara tentang Allah yang hanya kepada-Nya semata harus tertuju ketaatan, ayat ini menjelaskan tentang ke-Maha Tinggi derajat-Nya dalam mengutus malaikat untuk menyampaikan wahyu kepada para nabi sebagai peringatan adanya hari kiamat dan ayat sesudahnya (QS. al-Mu’min: 16) menjelaskan tentang bagaimanakah hari kiamat itu, serta penjelasan tentang keesaan Allah dan kekuasaan Allah dalam menetapkan putusan dalam pengaturan alam raya.
b.    Surat al-Nah{l ayat 2
Ayat sebelumnya (Qs. al-Nah{l ayat 1) menyatakan kesucian Allah dari segala kekurangan dan shirik, pada ayat ini ditegaskan kebenaran para rasul, termasuk nabi Muh{ammad yang sungguh menerima wahyu melalui malaikat atas perintah-Nya untuk menyeruh pada ke-EsaanNya serta perintah bertakwa pada-Nya, sedangkan ayat sesudahnya (Qs. al-Nah{l ayat 3) memaparkan salah satu bukti tentang ke-Esaan itu, sekaligus merupakan pelurusan kepercayaan kaum mushrikin yang mempersekutukan-Nya.  
c.    Surat al-Shu>ra> ayat 52
Ayat yang lalu (QS. al-Shu>ra> ayat 51) menguraikan cara-cara Allah menyampaikan wahyu kepada nabi Muh{ammad saw, pada ayat ini hal tersebut ditegaskan perihal wahyu yang disampaikan kepada nabi Muh{ammad adalah cahaya yang dengannya Allah memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus. Sedang ayat sesudahnya (QS. al-Shu>ra> ayat 53) mendeskripsikan tentang jalan yang lurus, yaitu segala pertolongan yang paling dibutuhkan manusia, berupa shariat-shariat yang telah ditetapkan Allah.

2.  Penafsiran Ayat tentang al-Qur’a>n sebagai Ru>h
Dalam menginterpretasikan al-Qur’a>n sebagai ru>h, dalam konteks ru>h yang memiliki pengertian sebagai wahyu, maka dari ketiga ayat yang dibahas tersebut  [(QS. al-Mu’min [40]: 15), (QS. al-Nah{l [16]: 2), dan (QS. al-Shu>ra> [42]: 52)}] didapat tiga kerangka pembahasan, yaitu:
1)      Pada ayat pertama (QS. Al-Mu’min [40]:15), digambarkan secara umum kepada siapa dan untuk apa ruh (wahyu) itu diberikan. Maka dengan ru>h (wahyu) ini manusia bisa hidup dengan baik dan benar.
2)      Pada ayat kedua (QS. Al-Nah{l [16]: 2), kembali digambarkan kepada siapa dan untuk apa ru>h (wahyu) itu diberikan, selain itu pada ayat ini ditegaskan bagaimana ru>h (wahyu) itu diturunkan, yaitu melalui perantara malaikat. Oleh karenanya, dalam ayat ini menggambarkan bahwa merealisasikan bimbingan wahyu merupakan cara manusia untuk hidup terhormat, sebab dengan ru>h (wahyu) jiwa manusia bisa hidup.
3)      Pada ayat ketiga (QS. al-Shu>ra> [42]: 52) ini, lebih detail dan khusus dijelaskan apa saja wahyu itu dan bagaimana fungsinya dalam lini kehidupan, yaitu sumber kekuatan yang mengerakkan, menyelamatkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari, selain itu digambarkan pula siapa dari hamba-hamba Allah yang dikehendaki mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus.
Lebih lanjut, bagaimana uraian ketiga kerangka pembahasan (out line) dari ayat-ayat bertema al-Qur’a>n sebagai ru>h tersebut dalam penafsiran, berikut ini penulis kupas :  
QS. Al-Mu’min ayat 15
رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِ  

Kata ruh dalam ayat ini dipahami dengan arti wahyu[4], hal ini sebagaimana riwayat:
حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قتاده، قوله:( يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ ) قال: الوحي من أمره.
حدثني هارون بن إدريس الأصمّ، قال: ثنا عيد الرحمن بن المحاربيّ، عن جُوَيبر، عن الضحاك في قوله:( يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ) قال: يعني بالروح: الكتاب ينزله على من يشاء.
Selanjutnya kata min pada kalimat min imrihi, dipahami dalam arti dengan, yakni memberikan ru>h dengan atau atas perintahNya. Sedangkan kalimat man yasha>u min ‘ibadihi, adalah berbicara tentang turunnya wahyu kepada nabi-nabi,[5] sebagaimana dalam riwayat:
حدثنا محمد، قال: ثنا أحمد، قال: ثنا أسباط، عن السديّ، في قول الله:( يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ) قال: النبوّة على من يشاء.
Ini berarti Allah memberi wahyu dengan mengutus malaikat atas perintah-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki, atau dalam arti memberikannya sebagai salah satu hal yang merupakan urusan dan wewenang Allah swt. Tidak satu pun dapat terlibat dalam hal wahyu. Ia tidak dapat diusahakan, tidak dapat juga diundang atau ditampik kehadirannya. Secara khusus, ayat ini berbicara tentang diturunkannya wahyu kepada Nabi Muh{ammad saw, serta adanya penutup ayat ini yang menegaskan pemberian wahyu tersebut agar yang diberikan wahyu bertindak sebagai pemberi peringatan yang menyangkut hari Kiamat (yaum al-tala>q), karena persoalan kiamat adalah persoalan ghaib yang tidak dapat diketahui kecuali melalui wahyu dan yang menerimanya adalah para nabi.
Redaksi yang digunakan dalam ayat ini mengisyaratkan tiga hal: Pertama, bahwa wahyu adalah ru>h dan kehidupan bagi manusia, tanpa ru>h ini manusia tidak akan bisa hidup dengan baik dan benar. Kedua, bahwa wahyu itu turun dari tempat yang tinggi kepada siapa yang dipilih dari hamba-hamba-Nya. Redaksi ini bertepatan dengan sifat Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Ketiga, wahyu itu turun sebagai peringatan yang menyangkut hari kiamat, agar manusia lebih bertanggungjawab terhadap perbuatan dan tindakannya.
Setelah mengisyaratkan bahwa ru>h (wahyu) adalah alat bagi manusia untuk hidup dengan baik dan benar (QS. al-Mukmin: 15), selanjutnya pada ayat berikut ini (QS. Al-Nah{l [16]: 2), kembali ditegaskan akan kekuatan ru>h (wahyu) yang dibawa oleh malaikat kepada nabi Muh{ammad saw, sekaligus peringatan akan ke-Esaan Allah dan anjuran untuk men-tauhidkanNya serta bertakwa pada-Nya.
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ  
Pemahaman ruh dengan wahyu pada ayat ini karena tuntunan-tuntunan Allah dinamai al-ru>h sebab dengannya jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa. Ini serupa dengan penamaan kebodohan dengan kematian, atau ilmu dengan cahaya. Tanpa melaksanakan bimbingan wahyu, manusia tidak dapat hidup sebagai makhluk terhormat bahkan jiwanya mati, sehingga ia mati terkubur walau masih menarik dan menghembuskan nafas.[6]
Ayat di atas menyimpulkan semua ajaran Ilahi pada kalimat la> Ilaha illa Ana, fattaqu>n. Pengertian tersebut sepadan dengan tujuan diturunkan wahyu kepada para nabi, yaitu tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku (Allah). Firman Allah tersebut termaktub dalam surat al-Anbiya>’ ayat 25:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
        Memang ketuhanan yang Maha Esa diibaratkan sebagai matahari hidup manusia. Apabila dalam kehidupan dunia ini ada matahari yang dijadikan Allah swt sebagai sumber kehidupan makhluk, maka tauhid adalah sumber kehidupan makhluk berakal. Apabila tanpa pancaran cahaya matahari kehidupan makhluk di permukaan bumi ini akan binasa, maka tanpa ketuhanan Yang Maha Esa kehidupan jiwa manusia pun akan binasa. Dari pancaran tauhid tersebut akan didapatkan kesatuan hidup duniawi dan ukhrawi dalam arti yang menentukan keadaan hidup seseorang di akhirat adalah amal-amalnya di dunia. Keyakinan akan keesaan Allah itulah yang akhirnya membuahkan takwa. Dengan demikian, bertauhid (mengesakan Allah) merupakan sebuah upaya untuk merealisasikan bimbingan wahyu. Untuk itulah, maka seharusnya ruh (wahyu) diterima dengan segenap perasaan, pikiran dan kehendak, tidak mengharap atau menggantungkan kekuatan lain di luar dari kekuatan firman-Nya.
Setelah menguraikan pentingnya merealisasikan bimbingan wahyu, sebab dengannya jiwa manusia hidup, dalam surat al-Shu>ra> ayat 52 berikut ini, lebih detail menginterpretasikan bahwa ru>h merupakan sebuah kekuatan yang menggerakkan, mempertahankan kehidupan di dalam hati, bahkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Selain itu, ayat berikut ini juga lebih menjelaskan bahwa wahyu disini meliputi al-Qur’a>n dan al-H{adi>th.
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  
Pengertian ruh dalam ayat ini dengan arti wahyu (al-Qur’a>n dan al-H{adi>th), sangatlah tepat dengan adanya penyebutan ma> kunta tadri> ma> al-kita>b wa al-i>ma>n serta ja’alna>hu nu>ran setelah penyebutan redaksi ru>h. Dengan demikian, wahyu inilah kitab yang membentuk jiwa, membangun umat dan kebudayaan mereka. Inilah sesungguhnya kekuatan ruh (wahyu). Lebih jelas, pengertian ruh di sini meliputi al-Qur’a>n dan al-H{adi>th. Firman Allah surat al-Ma>idah dan al-Nisa>’ mengambarkan tentang diturunkannya al-Qur’a>n sebagai suatu sinergi dan kekuatan pembentuk jiwa :
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (15) يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ [7] 
“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti kerid{aan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا [8]
Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’a>n).
Adapun firman Allah yang menjelaskan bahwa pengertian ru>h (wahyu) dalam ayat di atas juga meliputi al-H{adi>th adalah
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى [9]
 Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

…” وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [10]
“…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”
Demikianlah, ru>h (wahyu) meliputi al-Qur’a>n yang merupakan sinergi juga kekuatan pembentuk jiwa, ia (ru>h) juga merupakan al-H{adi>th yang harus diterima dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Selanjutnya yang termasuk dari golongan man nasya>u min ‘iba>dina>, adalah orang-orang beriman,[11] hal ini sebagaimana firman Allah:
….” قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آَذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ [12]
“….Katakanlah: "Al-Qur’a>n itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin, dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’a>n itu suatu kegelapan bagi mereka, mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".
Adapun s{ira>t{in mustaqi>min, bermakna segala pertolongan yang paling dibutuhkan oleh manusia, yaitu shariat-shariat Allah yang telah ditetapkan[13] (sebagaimana terangkum dalam ayat berikutnya QS. al-Shu>ra> ayat 53). Jalan yang lurus ini dapat diperoleh dan diketahui dengan memohon petunjukNya dengan cara beriman, tawakal, ibadah, dan membaca kitab suciNya sebagaimana yang diajarkan oleh para Salaf al-S{a>lih{ yang terpilih.
Dengan demikian, esensi seluruh perintah dan petunjuk wahyu (al-Qur’a>n dan al-H{adi>th) adalah dalam rangka memelihara kehidupan manusia, baik secara fisik maupun psikis. Tanpa panduan dan pedoman ini, kehidupan manusia semakin tidak menentu dan jelas arahnya. Oleh karenanya, yang perlu disadari dari wahyu (al-Qur’a>n dan al-H{adi>th)  yang mulia ini bahwa wahyu tersebut merupakan sistem hidup yang mengarahkan orang-orang yang beriman untuk mewujudkan kehidupan dalam bingkai keimanan. Sebuah hakikat kehidupan yang meliputi segenap komponen yang ada pada diri manusia, kehidupan fisik, perasaan, getaran jiwa, kemauan, pikiran, dan kehendaknya.

3.  Analisa
al-Qur’a>n diumpamakan sebagai ru>h, yang merupakan kategori dari tashbi>h bali>gh, tashbi>h yang derajatnya lebih tinggi dari tashbi>h-tashbi>h lainnya,  sebab itu al-Qur’a>n layaknya seperti ru>h yang bernaung dalam tubuh manusia, tanpa ruh manusia layaknya mayat hidup, begitu pulalah dengan al-Qur’a>n, tanpa sistem nilai darinya, manusia dapat rusak dan merusak. Adapun Pemahaman ru>h dengan wahyu pada ayat-ayat di atas, karena tuntunan-tuntunan Allah dinamai al-ru>h sebab dengannya jiwa manusia hidup, sebagaimana jasmaninya hidup dengan nyawa. Ini serupa dengan penamaan kebodohan dengan kematian, atau ilmu dengan cahaya. Sebagaimana Ibn Qutaibah, dalam Ta’wi>l Mushkil al-Al-Qur’a>n, menyatakan bahwa firman Allah dinamakan ru>h karena dapat menyelamatkan dari kebodohan dan mematikan kekufuran. Begitulah kiranya pentingnya ru>h (wahyu) bagi kehidupan manusia.
Ketika mencermati munasabah ayat-ayat yang dibahas, dengan tegas kesemuanya menunjukkan bagaimana ru>h (wahyu) itu diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, agar manusia tidak pernah lalai pentingnya sebuah ketaatan, keesaan, dan keagungan Allah. Selain itu, Ayat-ayat di atas dengan jelas mengambarkan bagaimana ru>h (wahyu) sangat berfungsi dan berperan penting dalam kehidupan manusia, dalam QS. Al-Mu’min ayat 15 misalnya, ditegaskan dengan kalimat liyundhira yaum al-talla>q, yang memberi pengertian bahwa dengan fungsinya menggingatkan kepada hari pembalasan, manusia jadi bisa lebih bertanggung jawab atas segala apa yang diperbuatnya, maka tidak salah bila ru>h (wahyu) di sini dapat menjadikan hidup manusia lebih baik dan benar. Lebih jelas lagi dalam QS. al-Nah{l ayat 2, disebutkan an andhiru> annahu la> ilaha a>na fattaqu>n, seruan untuk berkeyakinan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, merupakan sebuah upaya bagaimana melaksanakan bimbingan wahyu, sebab bertauhid sendiri merupakan sumber kehidupan makhluk berakal, yang berarti bahwa dengan bimbingan wahyu tersebut manusia  bisa hidup lebih terhormat. Oleh karenanya, manusia tidak bisa lepas dari ru>h, sebab ru>h yang mampu menggerakan perasaan, pikiran, dan kehendak dalam diri manusia.    
Begitulah cara kerja ru>h, kekuatan besar lain dari sentuhan ru>h (wahyu) dapat dirasakan bila kita mencermati ayat selanjutnya, yaitu QS. al-Shu>ra> ayat 52, yang lebih spesifik menjelaskan ke-umuman ayat-ayat sebelumnya (QS. Al-Mu’min ayat 15 dan QS. Al-Nah{l ayat 2). Kekuatan besar itu terlihat dari kalimat ma> kunta tadri> ma> al-kita>b wa la al-i>ma>n, dengan jelas ruh (wahyu) mampu memberikan pencerahan, padahal sebelumnya tidak diketahui apa itu al-kitab dan iman, selain itu ru>h (wahyu) tersebut mampu menjadi cahaya (nu>ran) petunjuk bagi orang-orang yang dikehendaki, yaitu orang-orang yang beriman, sebagaimana terbaca dalam surat al-Fus{s{ilat ayat 44, sehingga manusia mampu berjalan di jalan yang lurus, yaitu shariat-shariat Allah, yang dibutuhkannya untuk mengarungi kehidupan nyata di dunia. Adapun ru>h sendiri, bisa berupa al-Qur’a>n dan al-H{adi>th (Qs. al-Ma>’idah ayat 15-16, QS. al-Nisa>’ ayat 174, QS. al-Najm ayat 3-4, dan QS. al-Hashr ayat 7), yang dibawa dan disampaikan oleh Nabi Muh{ammad saw, sebab al-H{adi>th sendiri datang sebagai penjelas atas segala persoalan yang belum dijelaskan  secara terperinci dalam al-Qur’a>n. 
Demikianlah sinergi keduanya, al-Qur’a>n dan al-H{adi>th, keduanya menjadi sistem hidup bagi manusia untuk bisa berlaku baik dan benar dalam lini kehidupan, sehingga manusia tidak menjadi rusak dan perusak, akan tetapi menjadi insa>n ka>mil  yang  rah{mat li al-‘alami>n.

Kesimpulan
Sebagai ru>h, al-Qur’a>n merupakan undang-undang Allah yang mengatur kehidupan manusia sebagai individu maupun kolektif. Sebagai sistem kehidupan, Ru>h (wahyu) mampu menghidupkan dan mengerakkan akal dan fikiran, pengantar dari ragu kepada yakin, dari kebodohan kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, khianat kepada amanat, riya’ kepada ikhlas, lemah kepada teguh, dan sombong kepada tahu diri. Oleh karenanya, ru>h layaknya semacam sinergi dari elemen-elemen sistem organ tubuh, artinya ketika organ-organ tubuh manusia semua berfungsi maka ru>h hadir, dan ketika tidak berfungsi, ru>h menghilang, sehingga kehadiran ru>h dapat dipahami sebagai sunatullah.







[1] Abi> Muh{ammad ‘Abd Allah Ibn Muslim Ibn Qutaibah, Ta’wi>l Mushkil al-Qur’a>n, (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, 2006), 441-444.
[2] Ahmad Mubarok, Psikologi Qur'ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 10.
[3] Ibn Qutaibah, Ta’wi>l Mushkil al-Qur’a>n, 443.
[4] Abu> Ja’far al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n, ( al-Maktabah al-Sha>milah: Mu’assah al-Risa>lah, 2000), 468.
[5] Ibid.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’a>n, Vol 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 182.
[7] QS. Al-Ma>idah [5]: 15-16.
[8] QS. Al-Nisa>’[4]: 174.
[9] QS. Al-Najm [53]: 3-4.
[10] QS. Al-H{ashr [59]: 7.
[11] Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az{i>m, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004), 489.
[12] QS. Al-Fus{illat [41]: 44.
[13] Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az{i>m, 489.