Rabu, 30 Maret 2011

KETIKA ORIENTALIS BERBICARA HADITH

KETIKA ORIENTALIS BERBICARA HADITH
(Sebuah Pengantar Tentang Kajian Orientalis Terhadap Hadith)[1]
                                                Oleh.Irsyad (IeEr)

Muqaddimah
Kaum Muslimin memposisikan sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Hadith selama ia sahih (valid) menempati posisi yang sangat strategis dalam khazanah hukum Islam.[2] Sunnah Rasul, atau yang sering dipertukarkan nama dengan al-hadith, adalah ucapan, perilaku, persetujuan, penetapan dan sifat-sifat yang diungkapkan dan dipandang benar-benar dari Rasulullah SAW. Dalam sunnah itulah kaum muslimin menemukan berbagai fakta historis mengenai bagaimana ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan oleh Tuhan diterjemahkan ke dalam kehidupan nyata oleh Nabi Muhammad SAW. Karena sifatnya yang sangat praktis, dan tidak jarang mengikat secara keagamaan, al-hadith sering menjadi lebih populer dan lebih menentukan dalam pembentukan tingkah laku sosio-keagamaan dibanding ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu pada praktiknya kehidupan seorang muslim banyak ditentukan oleh al-hadith Nabi.[3]
al-Qur’an berbicara tentang prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang sifatnya universal, sementara hadith menafsirkan ayat-ayat tersebut sehingga lebih jelas dan operasional, bahkan hadith bisa berdiri sendiri dalam pembentukan hukum ketika al-Qur’an sama sekali tidak memberikan keterangan tentang hukum tersebut.[4] Dengan demikian al-Qur’an dan hadith merupakan “dwi-tunggal” yang tidak boleh dipisah-pisahkan.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kedudukan keduanya sejajar. Hal ini terlihat antara lain pada jaminan redaksional dan pengkodifikasiannya. Legalitas redaksi al-Qur’an, sudah tidak diragukan lagi. al-Qur’an langsung dari Allah dan Nabi Muhammad langsung meminta para sahabat untuk menuliskannya setiap kali ayat itu turun dan pencatatan al-Qur’an merupakan pekerjaan yang tidak pernah dirahasiakan dan menjadi aktivitas publik. Sedangkan hadith baru didokumentasikan setelah dua generasi, sehingga  sumber pertama setelah Nabi yaitu para sahabat, hampir tidak ditemukan lagi. Penulisan hadith juga hanya menjadi pekerjaan sebagian kecil sahabat saja.[5] Bahkan suatu saat Nabi SAW pernah melarang menulis apa saja yang datang dari beliau selain al-Qur’an sehingga pen-tadwin-an hadith secara resmi tertunda sampai abad ke-2 H. Hal ini semakin membuka peluang bagi para orientalis untuk mencari sisi-sisi kelemahan Islam dari segi sumbernya, terutama sumber yang kedua ini (baca: al- hadith).
Sebagai kelompok ilmuwan, mereka (orientalis) menggunakan kedok metode ilmiah untuk memutarbalikkan hadith, sehingga mampu menimbulkan kesangsian (keraguan) atas kebenaran dan keotentikan al-hadith, lebih parahnya lagi mereka mampu mempengaruhi dan meyakinkan orang lain.[6] Hal ini karena kepiwaian mereka dalam berargumentasi untuk meyakinkan semua orang bahwa hadith itu bukan berasal dari Nabi.
Ignaz Goldzhier merupakan orientalis pertama yang mengkritik hadith dan ilmu hadith secara sistematis dengan metode ”Historical Criticism”-nya, sedangkan Joseph Schacht merupakan penerus Goldziher dengan kritik yang lebih canggih dan merupakan peletak fondasi bagi hampir seluruh kajian al-hadith orientalis masa sesudahnya.[7]
Sehubungan dengan itu, tulisan ini sekedar memberikan pengantar tentang studi orientalis terhadap hadith, world view sekaligus framework kajiannya.

Memahami Istilah Orientalis
Kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia.[8] Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur.[9]
Melihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.[10]
Dan dalam kata ”orientalis” terkandung sifat umum nama pelaku atau ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya apakah ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis adalah semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa Timur serta kesustraannya.[11] Definisi ini dibantah oleh sebagian pakar dengan hanya membatasi pengertian orientalis hanya pada orang Barat (Eropa dan Amerika) yang nonmuslim.[12]
Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.[13]
Sementara Edward Said memberikan tiga pengertian dasar orientalisme. Pertama, orientalisme yang diartikan sebagai sebuah cara kedatangan yang berhubungan dengan Bangsa Timur. Kedua, sebuah gaya pemikiran yang berdasarkan ontologi dan epistemologi antara Timur dan Barat pada umumnya. Ketiga, sebuah gaya Barat yang mendominasi dan menguasai kembali dunia Timur.[14]

Motif dan Fase-Fase Perkembangan Orientalis
Kajian tentang timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalis baru di abad ke-18.[15]
Mengapa barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, latar belakang sejarahnya panjang dan komplek. Pertama adalah motif keagamaan. Barat yang di satu sisi mewakili kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah makanya Islam dianggap “menabur angin” dan lalu “menunai badai” perseteruan dengan kristen.[16]
Kedua, motif politik. Islam bagi barat adalah peradaban yang di masa lalu telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman langsung yang besar bagi kekuatan politik dan agama mereka. Barat sadar Islam merupakan peradaban yang memiliki khazanah dan tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi.[17] Oleh sebab itu, mereka perlu merebut khazanah ini untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukan Islam. Motif politik ini kemudian berkembang menjadi motif bisnis atau perdagangan yang kemudian menjadi kolonialisme.
Jadi, kajian orientalis tentang dunia Timur merupakan hasil dari pengalaman panjang Barat dalam menghadapi Timur, khususnya Islam. Oleh sebab itu ada baiknya kita telusuri secara singkat fase-fase perkembangan orientalisme untuk mengetahui bagaimana dengan motif dan framework yang sama mereka menggunakan teknik dan metode yang berbeda-beda. Kalau diteliti orientalisme bisa dibagi menjadi empat fase penting:
Fase pertama, dimulai pada abad XVI Masehi. Pada fase ini orientalis dapat dikatakan sebagai simbol gerakan anti Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Akar gerakan ini merupakan reaksi terhadap subtansi ajaran Islam yang sejak dini sekali menentang Kristen dan Yahudi, bahkan kekalahan bangsa Eropa Kristen dalam Perang Salib memicu semangat anti Islam.[18]
Fase kedua, orientalisme terjadi pada abad XVII dan XVIII M. fase kedua ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah raja-raja dan ratu-ratu Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala informasi tentang ketimuran sekaligus menyebarkan informasi negatif tentang Timur kepada masyarakat Barat.[19] Jadi, pada periode ini semangat anti Islam tergeser menjadi caci-maki orientalis terhadap Islam dalam bentuk tulisan.
Fase ketiga orientalisme adalah abad XIX dan seperempat pertama abad ke XX. Fase ini adalah fase orientalimse terpenting baik bagi Muslim maupun bagi orientalis sendiri. Sebab fase ini Barat telah benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik, militer, kultural dan ekonomi. Fase ini banyak orientalis yang menyumbangkan karya dalam bidang studi Islam, bahkan framework kajian orientalis mengalami pergeseran yang signifikan, dari fase caci maki menjadi serangan sismatis dan ilmiah. Namun demikian, serangan sismatis dan ilmiah itu tidak berarti tanpa kesalahan dan bias.
Fase keempat orientalisme ditandai dengan adanya perang Dunia ke II. Khusus di Amerika, Islam dan ummat Islam menjadi objek kajian yang pupuler, namun kajian ini tidak hanya dilakukan untuk kepentingan akademis, tapi untuk kepentingan merancang kebijakan politik dan bisnis. Jadi, pada fase ini kajian orientalis berubah lagi, dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Misalnya, Sir Hamilton Gibb secara diplomatis menerima bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi.[20]  Perubahan sikap di sini begitu kentara, dari menuduh Nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya, dan kini mereka mulai mempersoalkan konsep interpretasinya.
  Jadi, orientalisme yang dikenal saat ini sebagai suatu tradisi kajian ilmiah tentang Islam, sejatinya adalah berdasarkan “kaca mata” dan pengalaman manusia  Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaries, namun motivasi itu ditutupi dengan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik.[21] Edward Said yang telah melakukan kajian ilmiah tentang orientalis, dalam bukunya yang berjudul orientalisme menyimpulkan bahwa apa saja yang dikatakan orang Eropa tentang Timur tetap saja rasial, imperialis dan etnosentris, sebab Barat memandang Timur dengan superioritas yang tinggi.[22]

Kajian Hadith di Kalangan Orientalis
Dalam perjalanannya, orientalis memang tidak pernah sepi dalam tuduhan dan stereotifikasi terhadap umat Islam, terlebih lagi sebagaimana yang ditegaskan oleh Edward Said bahwa orientalis klasik memang banyak menyimpan rasisme intelektual terhadap dunia muslim. Said bahkan membaca kegayuban antara hasrat kuasa dan eurosentrisme oleh para pengaji Barat terhadap Islam hingga secara ilmiah objektifitas mereka patut diragukan.
Orang-orang orientalis sendiri sudah banyak mencurahkan waktunya untuk meniliti sastra, sejarah dan lain-lainnya. Namun mereka baru meneliti h{adi>th Nabi SAW pada masa belakangan saja. Sarjana barat yang barangkali pionir dalam mengkritisi hadith sebagai sumber sejarah Islam ialah Alois Sprenger. Kajian Sprenger memang baru semacam penghantar, yang belum menohok secara langsung epistemilogi isnad yang dibangun kalangan muhaddith untuk menjamin otentisitas hadith. Kajian Wiliam Muir dalam Life Of Mohammed, yang hadir setelah Sprenger-lah yang men-gema-kan ketegasan akan skeptisisme terhadap capaian ilmuan hadith Muslim berkenaan dengan isnad.[23]
Berbeda lagi, Azami memperkirakan bahwa sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadith adalah Ignaz Goldziher, orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara 1850-1921 M, pada tahun 1890 M ia menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadith dalam sebuah buku berjudul Muhammedanische Studies (Studi Islam). Dan sejak saat itu sampai kini, buku Goldziher tersebut menjadi kitab suci di kalangan orientalis.[24]
Lebih kurang enam puluh tahun setelah buku itu terbit, Schacht juga meneliti sumber-sumber hadith fiqih. Hasil penelitiannya kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Schacht berkesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadith yang sahih, terutama hadith-hadith fiqih. Sejak saat itu buku tersebut menjadi kitab suci kedua dikalangan orang-orang orientalis. Jika Ignaz Goldziher berhasil meragukan orang terhadap kebenaran hadis Nabi, maka Schacht lebih dari itu, ia berhasil meyakinkan orang bahwa apa yang sering disebut hadith itu tidak autentik berasal dari Nabi Muhammad.[25]
Agaknya buku Schacht ini sangat berpengaruh, khususnya terhadap mereka yang mempelajari kebudayaan Islam. Sampai Gibb mengatakan bahwa karya Schacht ini kelak akan menjadi rujukan utama untuk mempelajari kebudayaan dan hukum Islam, setidak-tidaknya di Barat.[26]
Selain dua buku di atas, dalam masa tiga perempat abad sejak terbitnya buku goldziher, kalangan orientalis tidak menerbitkan hasil kajian mereka tentang hadith, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari sebuah penelitian hadith. Memang ada sebuah buku yang ditulis oleh A. Guillaume berjudul The Traditions of Islam (hadith- hadith Islam), tetapi kajiannya sangat mengandalkan penelitian goldziher, sehingga ia sama sekali tidak menyugukan sesuatu yang baru dalam penelitian hadis. Karenanya, menurut Azami, buku ini tidak memiliki nilai ilmiah.[27]
Seorang orientalis yang diharapkan dapat merevisi pendapat-pendapat Goldziher dan Schacht adalah Robson, karena ia menerjemahkan kitab Mishkat al-Masabih dan al-Madkhal karya al-Hakim. Namun ternyata ia juga terkecoh oleh teori-teori Schacht. Sedangkan Schacht sendiri, ia tetap hidup dan berpikir seolah-olah ia berada pada abad lampau sehingga tidak memperdulikan penelitian dan penemuan-penemuan baru dalam dunia penelitian manuskrip. Ia justru memopulerkan teori-teori Goldziher dan Magoliouth yang sudah basi ditelan zaman.[28]

Tuduhan dan Kesalahan Orientalis terhadap Otensitas Hadith
 Pembukuan hadith secara resmi baru dilakukan pada masa `Umar bin `Abd al-Aziz (Khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh setelah Nabi wafat.  Panjangnya rentang waktu ini, bagi orientalis merupakan peluang terlebar untuk mengkritik hadith. Kesimpulam mereka umumnya menyatakan bahwa keabsahan hadith diragukan sebagai sabda Rasul karena panjangnya rentang waktu pengondifikasiannya.[29] Terlebih lagi, ketika masih Hidup, Nabi pernah melarang penulisan hadith oleh para sahabat.[30]
Meskipun terdapat berbagai data pendukung yang kuat bahwa hadith Nabi telah dipelihara semenjak periode awal (sahabat),[31] para orientalis terus saja mencari-cari peluang untuk menyalahkannya.[32] Mereka menyatakan, hadith Nabi tidak pernah dibukukan sampai pada awal abad ke-2 H. Atas dasar ini, mereka berkesimpulan, bahwa pada kurun waktu yang panjang ini, keberadaan hadith tersia-sia. Alasannya karena hadith belum ditulis dalam artian dibukukan. Implisitnya, keotentikan hadith Nabi sangat diragukan dan cenderung ditolak, lebih jauh, hadith tidak mungkin dapat dijadikan hujjah atau sumber hukum.
Lebih jauh, Ignaz Goldziher  yang merupakan “dedengkot” orientalis menyatakan bahwa hadith tidak lebih kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua generasi pembuat hadith yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Celakanya, hadith-hadith palsu itu dipakai pula oleh para penganut madhhab untuk membela dan melegitimasi pendapatnya masing-masing.[33]
Disamping itu, ia juga menyatakan bahwa jumlah hadith pada koleksi yang kemudian jauh lebih banyak dari pada koleksi sebelumnya dan juga hadith yang diriwayatkan oleh sahabat yang lebih muda jauh lebih banyak dibandingkan yang diriwayatkan sahabat yang tua. Bukankah ini menunjukkan bahwa keaslian (keotentikan) hadith harus dipertanyakan?.
Untuk merespon hal itu, sebagaimana disampaikan Ugi Suharto bahwa pengumpulan hadith secara besar-besaran terjadi apabila para ahli hadith melakukan rihlah (perjalanan) mencari hadith. Dengan begitu maka hadith akan banyak yang berulang matannya karena bertambahnya isnad hadith tersebut. Dan juga dengan banyaknya sahabat muda dalam meriwayatkan hadith dibanding sahabat tua justru membuktikan bahwa hadith yang ada bukan dari hasil pemalsuan. Sahabat muda lebih terekspos pada generasi tabi’in yang memerlukan hadith untuk menyelesaikan masalah. Hadith yang pada awalnya dalam simpanan hati para sahabat, kini mulai keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut.[34]
Bahkan secara tegas Azami menyatakan bahwa terlalu naif kalau dikatakan bahwa ilmuwan sekaliber Goldziher tidak tahu akan kegiatan penulisan dan pemeliharaan hadith pada masa awal, kekuatan hafalan orang-orang Arab pada waktu itu, daya kritis para sahabat ketika diajukan padanya sebuah hadith. Pada masa tabi’in, kegiatan tulis menulis hadith masih tetap berlangsung sebagaimana pada masa sahabat. Pada masa ini, ada sebagian tabi’in yang hidup semasa dengan sebagian usia para sahabat, kemudian dari merekalah mereka (tabi’in) mendapatkan hadith.[35]Dengan demikian, kritik Goldziher tentang ke-historis-an hadith tidak dapat diterima secara ilmiah.
Disamping Goldziher, Orientalis yang berpengaruh dalam kajian hadith adalah Joseph Schacht. Walaupun Ia merupakan orientalis spesialis dalam bidang Fiqh, namun ia banyak meneliti tentang hadith-hadith fiqih. Selama + 10 tahun, setelah ia meneliti tentang hadith-hadith fiqh, Joseph Schacht berkesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadith Nabi yang autentik, terutama hadith-hadith fiqh.[36] Sekalipun tesisnya sama dengan Goldziher, menurut Azami, usaha Schacht ini berhasil “meyakinkan” orang yang sependapat dengannya bahwa apa yang sering disebut hadith itu tidak autentik berasal dari Nabi Muhammad. Sementara Goldziher, baru sampai tingkatan “meragukan” (ada kemungkinan itu dari Nabi).[37]
Dengan kata lain, Schacht berusaha merapuhkan pondasi bangunan Islam dengan menyatakan bahwa hadith Nabi yang berkaitan dengan fiqh, dinyatakan palsu. Oleh karena itu, ia tidak dapat dijadikan tendensi sumber hukum Islam. Kalau maksud ini berhasil, maka umat Islam akan meragukan atau bahkan meninggalkan hadith. Dan dalam jangka panjang, mereka akan meningalkan Islam.
Tetapi, kiranya Schacht tidak akan berpendapat demikian seandainya penelitiannya itu dilakukan dengan niat untuk mengetahui eksistensi hadith sebagai sumber Islam kedua, ini sebagai kesalahannya yang pertama. Yang kedua, Joseph Schacht telah melakukan generalisasi terhadap hasil kajiannya terhadap kitab-kitab fiqh sebagai produk jadi, seakan-akan tidak ada kitab khusus tentang hadith. Dalam kitab fiqh klasik karya para ulama’ terdahulu biasanya: 1) terjadi pembuangan sebagian sanad untuk mempersingkat pembahasan kitab dan cukup disebutkan sebagian dari matan hadith yang berkaitan dengan permasalahan tersebut; 2) membuang sanad seluruhnya, dan langsung menyebut hadith dari sumber yang pertama; 3) penggunaan kata “Sunnah” untuk menunjuk kepada perilaku Nabi tanpa menyebut hadith dan sanadnya. Sebab hadith tersebut sudah dikenal secara mashur dikalangan ulama.[38] Sedangkan hadith Nabi adalah suatu materi yang berdiri sendiri, bahkan ia mencakup ilmu-ilmu yang lain. Oleh sebab itu, ditinjau dari segi ilmiah adalah sebuah kesalahan yang sangat mendasar apabila kita meneliti hadith-hadith yang terdapat dalam kitab fiqh sebagaimana yang dilakukan Joseph Schacht. Karena semua penelitian hadith ataupun sanad di luar sumber yang asli (hadith), hasilnya akan meleset dari kebenaran. Sebab hal itu akan membawa kepada kesimpulan yang tidak tepat, bahkan akan berlawanan dengan kenyataan yang ada. Disinilah kesalahan penelitian yang dilakukan oleh orientalis – khususnya Schacht –, karena mereka menggunakan metode yang tidak benar.[39]

Tuduhan dan Kesalahan Orientalis Terhadap Hadith
Ali Musthafa Ya’kub menyatakan bahwa dalam ilmu hadith, kritik ditujukan kepada dua aspek, yaitu kritik transmisi (sanad) dan kritik materi (matan).[40] Kritik sanad dimaksudkan untuk mengetahui kredibilitas perawi misalnya, tentang kredebelitas perawi, integritas perawi, bersambung atau tidaknya jalur transmisi hadith dan sebagainya. Sedangkan kritik matan ditujukan untuk melihat materi (teks) hadith dari hal-hal yang berkaitan dengan ‘illat dan shadh. Kedua kritik ini (sanad dan matan) telah dilakukan oleh para ulama hadith, yang pada masa-masa berikutnya memunculkan kajian ilmiah tentang al-jarh wa al-ta’dil, ‘Ilal al-hadith dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan hal ini, Ignaz Goldziher membuat tesis bahwa dalam sejarah terjadi pemalsuan isnad dan juga matan hadith dan kaum muslimun hanya memberi perhatian kepada kritik isnad, dan kurang memberi perhatian terhadap kritik matan, bukankah ini membuktikan bahwa tidak ada jaminan keotentikan hadith pada saat sekarang ini.
Merespon hal ini, Ugi Suharto menyatakan bahwa literatur hadith-hadith mawdu’at telah membuktikan bahwa hadith tersebut telah dipisahkan dari hadith-hadith yang lebih otentik. Pembagian hadith kepada sahih, hasan dan da`if juga membantu dalam menentukan keotentikan setiap hadith. Selain itu, matan hadith turut menjadi perhatian mereka juga, sebab hadith-hadith yang bertentangan dengan al-Qur’an, akal yang sehat, riwayat yang mutawattir dan ijma’ sudah tentu akan ditolak oleh para ulama hadith.[41] Karena diantara syarat kesahihan hadith adalah tidak ada shadh dan tidak ada ‘illat dan ini adalah kritik matan.[42]
Sama seperti Goldziher, kritik hadith tentang sanad dan matan juga tak lepas dari penelitian Joseph Schacht. Ia menyatakan bahwa teori sistem isnad  dituduh sebagai bikinan para ulama hadith dan tidak pernah ada pada zaman Nabi atau bahkan para sahabat. Dengan kata lain, sistem isnad menurut  Joseph Schacht adalah a-historis.
Anggapan seperti yang dituduhkan Joseph Schacht ditolak oleh Azami, sebab menurutnya sistem isnad telah digunakan secara insidental (kebetulan) dalam sejumlah literatur pada masa pra-Islam walaupun dalam sebuah makna yang tak jelas, tanpa menyentuh sasaran pemakainya. Namun demikian, urgensi metode sanad ini baru tampak dalam riwayat hadith saja.[43] Hal ini dapat dimengerti, karena sistem isnad dipandang sebagai salah satu cara yang efektif untuk mendeteksi apakah hadith itu benar-benar dari Nabi atau tidak.
Menurut Azami, untuk memperoleh otentitas hadith, maka seseorang harus melakukan kritik hadith baik itu menyangkut sanad hadith maupun matannya. Adapun rumusan metodologis yang ditawarkan untuk membuktikan keotentikan hadith adalah:
  1. Memperbandingkan hadith-hadith dari berbagai murid seorang guru.
  2. Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari para ulama dari beberapa waktu yang berbeda.
  3. Memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis.
  4. Memperbandingkan hadith-hadith dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Dari hal di atas, terlihat bahwa Azami kurang tertarik pada pendekatan rasional walaupun beliau telah menyinggung kritik matan pada point keempat. Menurutnya, pendekatan rasional tidak selamanya dapat diterapkan dalam metode kritik hadith. Beliau menyontohkan hadith tentang bagaimana Nabi tidur dengan berbaring pada lambung kanan. Secara rasional, orang bisa saja tidur dengan terlentang, telungkup, berbaring pada lambung kanan atau kiri. Semua posisi tidur adalah mungkin. Namun demikian, kita tidak bisa mengatakan – dengan rasio kita – bahwa posisi tidur tertentu adalah mungkin dan yang lain tidak mungkin.
Dalam kasus seperti tersebut diatas, pendekatan rasional tidak bisa membuktikan kebenaran dan ketidakbenaran hadith. Apa yang benar atau tidak benar hanya dapat diputuskan melalui saksi-saksi dan perawi yang terpercaya, kecuali kita menemukan kasus kejadian yang bertentangan dengan akal.[44]

Tokoh Orientalis yang Berpengaruh dalam Kajian Hadith
Dalam mengkritisi keberadaan hadith berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan hadith, sebenarnya banyak sekali orientalis yang mengkaji hal tersebut, akan tetapi tokoh orientalis yang berpengaruh dalam kajian ini adalah:
Ignaz Goldziher dan Teorinya
Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria.[45] Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig.[46]
Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya: “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”.
Ia kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten Guru Besar di Univeritas Budhapest pada tahun 1872. Ia tidak lama mengajar, dan lalu meneruskan studinya di Wina dan Leiden. Setelah itu ia mengadakan perjalanan ke Timur Tengah, Suriah dan Palestina dan kemudian menetap di Kairo.[47]
Ketika di Universitas Budapest, ia banyak menekankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Pada tahun 1894, ia diangkat menjadi profesor kajian bahasa Semit. Goldziher memang sangat cerdas. Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca buku-buku tebal dan memberikan ulasannya. Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah al-Z{ahiriyah: Madhhabuhum wa Tarikhuhum. Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih.
Pada tahun 1889 ia menulis karangan tentang hadith berjudul Dirasah Islamiyyah. Dalam bukunya al-`Aqidah wa al-Shari`ah fi al-Islam, Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad SAW. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.[48]
Ignaz mengemukakan tesis perihal transmisi hadith dikalangan kaum muslim abad-abad awal, dengan mengatakan bahwa hadis baru ditulis pada abad ke-2 H. ia meragukan keotentikan hadis sebagai benar-benar dari Nabi SAW. Selang jarak waktu yang begitu lama menjadi alasan keraguan akan keaslian hadith, apakah memang betul ditransmisikan dari nabi atau hanya rekaan ilmuan hadis pada abad kedua hijrah. Bahkan hingga koleksi besar klasik yang menjadi pegangan kuat umat Islam pun masih diragukan olehnya. Ia menduga, berbagai kompilasi hadith yang bermunculan pada abad kedua merupakan perkembangan historis doktrin-doktrin Islam dan merupaakan kreasi para ulama. Selain itu hadith tidak lebih hanya sekedar refleksi kecenderungan komunitas muslim yang tengah dalam tahap kematangannya. Dalam hal ini hadith merupakan modus sistemik yang dikembangkan untuk merekontruksi sejarah Islam periode awal.[49]
Untuk menguatkan pemikirannya tersebut, ia membuat suatu metode kritik matan hadith, yang tentunya berbeda dengan metode yang telah ditetapkan oleh para ulama klasik Islam. Dalam metode itu ia mengungkapkan bahwa kritik matan hadith mencakup aspek politik, sains, sosio-kultural, dan lain-lain. Dalam hal ini, ia mencontohkan sebuah hadith yang terdapat di kitab al-Sahih al-Bukhari, di mana menurutnya, al-Bukhari tidak melakukan kritik matan, hanya melakukan kritik sanad sehingga setelah dilakukan kritik matan oleh Ignaz, hadith itu ternyata palsu.[50]

Joseph Schacht dan Teorinya
Josepht Schahct adalah seorang profesor yang lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guru besar pada 1929. Schacht menjadi dosen di Universitas Frayburg, Jerman. Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir.[51]
Di Mesir, ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir hingga 1939. Ketika terjadi Perang Dunia II pada September 1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London. Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman.[52]
Di Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas Oxford dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada tahun 1952. Ia diangkat sebagau guru besar di seluruh universitas yang ada di kerajaan Inggris. Pada tahun 1954, ia pakar fikih Islam ini, menjadi guru besar di Universitas Leiden sampai 1959. Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan kedua Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah. Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.[53]
Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: al-Khasaf al-Kitab al-Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al-Qazwini: Kitab al-Khiyal fi al-Fiqh (1924), al-Tabari: Ikhtilaf al-Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan al-Risalahnya Imam al-Shafi`i.[54]
Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:
1.    Teori Projecting Back, yaitu melihat keaslian hadith bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum Islam dengan apa yang disebut hadith Nabi. Menurutnya hukum Islam belum eksis pada masa al-Sha’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadith-hadith yang berkaitan dengan hukum Islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al-Sha’bi. Hukum Islam baru eksis ketika ada kebijakan Khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
2.    Teori E Silentio,Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seorang perawi pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadith dan gagal menyebutkannya, maka berarti hadith tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadith ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadith itu eksis atau tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadith tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadith itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai referensi.
3.     Teori Common Link, yaitu sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadith kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.[55]
Jyunboll dan Teorinya
G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua orientalis di atas. Karya-karyanya antara lain: The Authenticity of The Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt, juga tentang On The Origin of Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna.
Sejak di bangku S1 di Leiden, Belanda, Jyunboll sudah begitu gigih mencurahkan segenap upayanya melakukan penelitian terhadap otentifikasi hadits. Tak ayal, setelah tiga puluh tahun lebih, sejarah dan perkembangan hadith dapat dia kuasai dengan baik. Mulai dari hadith klasik hingga yang kontemporer. The Authenticity of the Tradition Literature, adalah salah satu bukti karya original, hasil penelitiannya terhadap pandangan para teolog Mesir tentang kesahihan sebuah hadith.
Pemikiran Jyunboll tidak lebih dari mengulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurutnya, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi peperangan antara ’Abd Allah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadith-hadith palsu.
Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht, dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al-hadith abad pertengahan, kedua, muhaddithin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadith.
Oleh karena itu, ia melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap Common link. Menurutnya, common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadith yang mendengar suatu hadith dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadith kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadith itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadith), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, sahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke (hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya da’if.


[1]Makalah ini disajikan dalam acara Study Camp ’10 HMJ Tafsir Hadith Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya di Pacet Mojokerto.
[2]M. M. Az{ami.. Studies in Hadith: Methodology and Literature (Indiana Polis: American Trust Publications, 1977), 46. Lihat juga , Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah Wa Makanatuha Fi al-Tashri’ al-Islami (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978), 42-43.
[3]Badriyah Fahyuni dan Alai Najib, “Mahluk Paling Mendapat Perhatian Nabi: Wanita dalam Islam” dalam Ali Munhanif (ed). Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), 44.
[4]al-Subhi al-Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Penj.) Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), 253-256.
[5]Wahyono Abdul Ghafur, “Epistemologi Ilmu Hadits” dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.), Wacana Studi hadits Kontemporer (Yogyakarta:PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), 3-4.
[6]M. M. Azami, Studies and Early Hadith Literature. (Terj.) Ali Mustafa Ya’kub, Hadits Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 5.
[7]Ugi Suharto. 2005. Orientalis dan Hadits. Makalah yang disajikan dalam acara workshop Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat Putaran V. Dengan tema Menjawab Tantangan Sekulerisme dan Liberalisme di Dunia Islam diselengarakan atas kerjasama Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) cabang Pasuruan, Forum Kajian Pemikiran Islam (FKPI) dan Institute For The Study of Islamic Tought and Civilization (INSIST) Kuala Lumpur di Pasuruan pada tanggal 4-5 April 2005.
[8]John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2001), 408.
[9]Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), 51.
[10]Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website: http://rifqiemaulana. wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
[11]Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis, 54.
[12]Ibid.
[13]Ibid.
[14]Edward W Said, Orientalisme, Terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka Salman, 1996), 204.
[15]A. S. Hornby, Oxford Advanced learner’s Dictionary of Current English, Vol. VII (London: Oxford Univercity Press, 1933), 200.
[16]Thomas Right, penulis buku Early Christiany in Arabia, mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen ada sejak sebelum Islam datang, yaitu ketika bala tentara Kristen pimpinan Raja Abrahah menyerang Ka’bah dua bulan sebelum Nabi Muh{ammad lahir. Di situ tentara Abrahah kalah telak dan bahkan tewas. Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada di tangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di Ka’bah. Muh{ammad pun mungkin mati sebagai pendeta. Jika Right benar, berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah Nabi Ibra>him, sebab ketika mereka menyerang Ka’bah, mereka bukan sedang menyerang Islam yang dibawa Nabi Muh{ammad SAW, melainkan menyerang Ka’bah yang merupakan khazanah millah Ibra>him, bapak Agama Tawh{id itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan Missionarisme. Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, ‘Mengkritisi Kajian Islam Orientalis’ dalam Kritik atas Framework Studi Islam Orientalis, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Islamia, Vol II, No. 3, (Desember, 2005), 5. 
[17]Hasan Abdul Rauf M. el-Badawiy dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Missionarisme; Menelikung Pola Pikir Umat Islam, Terj. Andi Subarkah (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 15.
[18]Bagi Kristen, Islam merupakan simbol teror, perusak dan barbarian. Bagi orang Eropa Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Bahkan tidak sedikit yang menulis bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dan sebagainya yang kesemuanya itu diambil dari doktrin keagamaan yang dibawanya. Norman Daniel, Islam and The West (T.p: t.tp, t.tt), 246-296.
[19]Pada periode ini, banyak karya yang dihasilkan, beberapa di antaranya, Erpernius (1584-1624), menerbitkan pertama kali tatabahasa Arab, dan diikuti muridnya Jacob Goluis (1596-1667). Bedwell W (1561-1632) juga mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. Pada periode ini pula, Alexander Ross, menerbitkan buku-buku yang banyak menghujat Islam dari pada memaparkan apa adanya. Ia misalnya menulis buku berjudul The Prophet of Turk and Author of The al-Coran, yang menggunakan kata kasar seperti great thief. Bahkan pada tahun 1679 Humphrey menulis sejarah hidup Nabi Muhammad, tapi buku itu berusaha membuktikan asumsinya bahwa Nabi Muhammad itu pandai berpura-pura, pandai mengelabui orang, penipu dan cerdik.
[20]Pre-Islamic Monotheism in Arabia, Harvard Teological Review, 55, 1962, 169.
[21]Afaf, al-Mushtashrikun wa al-Mushkilat al-Hadarah (Cairo: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1980), 33-34.
[22]Edward W Said, orientalisme, 304.
[23]Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, (ttp: 2000), 112.
[24]Ali Mustafa Ya’qub, kritik hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 8.
[25] M. M. Azami, Hadis Nabi Dan Sejarah Kodifikasinya, cet III, (Jakarta: pustaka firdaus, 2006), 3.
[26] Ibid.
[27] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, 9.
[28] Ibid.
[29]Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet 2, Jilid 4  (Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Houve, 2000), 80.
[30]‘An Abi Sa’id al-Khudri Anna Rasul Allah Salla Allah ‘Alaih wa Sallam Qala La Taktubu ‘Anni wa Man Kataba ‘Anni  Ghaira al-Qur`an falyamhuhu. Untuk lebih jelasnya lihat Abu al-Husain Muslim b. al-Hajjaj ibn Muslim al-Qushairi al-Naisaburi, al-Jami' al-Sahih, Juz 14 (Bairut: Da>r al-Fikr, tth), 291.
[31]Indikasi hal ini dapat kita lihat pada peristiwa yang dialami ‘Add Allah bin ‘Amr ketika dia selalu mendokumentasikan apapun yang ia dengar dari Rasulullah, namun usahanya ini dikritik oleh orang-orang Quraish sehingga ia menghentikan aktivitasnya ini, namun ketika aktivitasnya ini ia laporkan kepada Rasulullah, dengan semerta-merta Rasulullah berisyarat dengan jari telunjuk kemulutnya dan bersabda: Uktub Fawalladhi Nafsi bi Yadih Ma Yakhruju Minhu Illa Haqqun. Lebih jelasnya lihat  Abu Dawud Sulaiman bin al-Ash'ath al-Sijastaniy, Sunan Abi Dawud, Juz 10, (Bairut: Dar al-Kutb al-`Ilmiyah, tth), 55.
[32]Diantaranya adalah sebagaimana yang ditulis Wahyono Abdul Ghafur. 2002. “Epistemologi Ilmu Hadith” dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.). Wacana Studi hadits Kontemporer. (Yogyakarta:PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), 11-13. Bahwa pada masa Nabi ada beberapa Sahabat yang diberi wewenang (diperbolehkan) bahkan diperintah untuk menulis hadith. Diantara tulisan –tulisan yang sedikit itu atau yang lebih sering disebut dengan sahifah (lembaran) adalah sahifah al-sahihah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Sahifah al-Sadiqah yang merupakan tulisan langsung sahabat ‘Abd Allah bin ‘Amr bin ‘Ash, Sahifah Samarah bin Jundub dan Sahifah Jabir bin `Abd Allah.
[33]Pendapat Goldziher ini tertuang dalam bukunya Dirasah Islmiyah. Muhammad `Ajaj al-Katib, al-Sunnah Qabl al-tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 349-350.
[34]Ugi Suharto, Orientalis dan Hadit, 4.
[35]M.M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya, (Terj.) Ali Musthofa Ya’kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 124.
[36]Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya, 3.
[37]Ibid.
[38]Abdul Mustaqim, “Teori Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits Menurut Prespektif Muhammad Mustafa ‘Azami” dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.). Wacana Studi hadits Kontemporer, 66-67.
[39]Ibid., 67-68.
[40]Ali Musthafa Ya’kub, Imam Bukhori dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), 20.
[41]Ugi Suharto, Orientalis dan Hadit, 6.
[42] Selain kedua syarat tersebut, ada tiga syarat kesahihan hadith yaitu: ittisal al-sanad, ‘adalat al-ruwah dan dabtu al-ruwah. Lihat dalam Mahmud Takhan, Taisir Mustalah al-Hadith, Cet V (T.tp: t.p, 1998), 33-34.
[43] Abdul Mustaqim, “Teori Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits Menurut Prespektif Muhammad Nusthafa Azami” dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.). Wacana Studi hadits Kontemporer, 59-60.
[44]Ibid., 72-73.
[45]`Abd al-Rahman Badawi, Mausu`ah al-Mustashriqah, Terj. Amroeni Drajat,  Ensiklopedi Tokoh Orientalis (Yogyakarta: Lki, 2003), 128-130.
[46]Ali Mustafa, kritik hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 14.
[47]Ibid.
[48] Ahmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat Terhadap Islam; Antara Yang Menghujat Dan Yang Memuji, (Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya, 2004), 84. Dan lihat Ahmad Muhammad jamal, membuka tabir upaya orientalis dalam memalsukan islam, (bandung: Penerebit CV. Diponegoro, 1991). 105-106.
[49]Daniel W. brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, (ttp: t.p, 2000), 113.
[50]Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), 88.
[51]Ali Musthafa Ya`qub, Kritik Hadis, 19.
[52]Ibid.
[53]‘Abd al-Rahman Badawi, Mausu`ah al-Mustashriqin (Beirut: Dar al-`Ilmi al-Malayin, 1989), 252-253.
[54]Ibid., 253-255.
[55]Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis, 108-109.