Kamis, 31 Maret 2011

tentang benar dan salah


Ketika Kebenaran Dibahasakan

Terkadang terbersit dalam pikiran kita "Apa itu kebenaran?", " Makhluk apa itu  kebenaran?" dan banyak lagi pikiran-pikiran yang mungkin sering terngiang. Ah yang pasti bahwa “benar” itu pasti “tidak salah”. Pertanyaan-pertanyaan kritis kita di masa kecil, misalnya mengapa gajah berkaki empat, mengapa burung bisa terbang, dan sebagainya, kadang tidak terjawab secara baik oleh orang tua kita. Sehingga akhirnya sering sesuatu kita anggap sebagai yang memang sudah demikian wajarnya (taken for granted).
Dalam area non-empirik, di mana tidak ada data dari observasi, manusia hanya bisa menggunakan logical reasoning dalam menganalisa statement atau argumentasi. Benar atau tidaknya secara faktual tidak ada yang bisa tahu karena tidak ada data observasi.
Dalam area moralitas, manusia berbeda dalam mendefisikan standard kebenaran. Ada yang menggunakan standard “survival the fittest”, siapa kuat dia yang mendefiniskan benar/salah; ada yang menggunakan standard “consensus of the majority”, suara terbanyak yang menentukan benar/salah; ada yang menggunakan standard “do unto others as you would have them do unto you”, perbuatan menjadi benar kalau disukai, kalau tidak disukai menjadi salah; ada pula yang menggunakan standard dalam kitab suci yang diyakini sebagai wahyu dari Tuhan pencipta manusia.
Salah satu contoh kasus, ingat cerita Robin Hood?, seorang kesatria yang senang menolong rakyat miskin, namun caranya adalah dia mencuri harta materi dari orang-orang kaya dan bangsawan kemudian hasil jarahannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Dari sudut pandang orang kaya yang hartanya di jarah, Robin Hood adalah penjahat yang patut dibantai, sedangkan dari sudut pandang orang miskin Robin Hood adalah ksatria pahlawan penolong orang lemah dan rakyat miskin.
Kalau kita renungkan dari kasus tersebut kebenaran dari sudut manusia menjadi bersifat relatif tergantung cara pandang masing-masing orang, bagaimana mengatasinya, yaitu dengan menggunakan indikator kebenaran sejati yaitu kebenaran Tuhan, bahwa yang namanya mencuri apapun alasannya adalah salah.
Inilah yang menjadi preseden buruk bagi kebanyakan paradigma orang, sehingga sampai-sampai membunuh pun bisa dibenarkan sesuai dengan sudut pandang manusia, misalnya membunuh karena alasan perang antara negara, seperti perang untuk mempertahankan kemerdekaan, atau perang atas nama agama dan lain-lain, padahal tidakkah seharusnya yang namanya membunuh adalah sama dengan menghilangkan nyawa orang lain dan adalah dosa. Inilah yang saya sebutkan tentang dilematis antara kebenaran relatif manusia VS kebenaran absolute Tuhan. Kebenaran manusia cenderung bersifat filosofis atau berbau filsafat sehingga akan selalu bermuara pada relatifitas, sedangkan kebenaran Tuhan seharusnya bersifat absolute, jika kebenaran Tuhan tidak mutlak maka Tuhan itu tidak eksis. Karena tidak mungkin Tuhan Yang Maha Kuasa membiarkan kebenaran menjadi kacau balau tanpa ada sebuah “pakem”, paling tidak jika saat ini sepertinya demikian faktanya.
Secara sederhana saya mengklasifikasikan kebenaran itu ke dalam dua hal, yaitu: Kebenaran yang bisa diraba oleh panca indera, logika akal dan budi, serta hati manusia, termasuk di dalamnya kebenaran ilmiah dan kebenaran filsafat, di mana ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan menalar, kemampuan berpikir, serta paradigma pikir orang tersebut. Dalam hal ini termasuk metodologi pembuktian suatu kebenaran. Salah satu contoh, kalau kita bicara jurnal ilmiah, maka seorang peneliti bisa saja menemukan kebenaran x, tetapi tak lama kemudian bisa juga peneliti lain membantah kebenaran x tersebut, dan kedua peneliti itu menggunakan metodologi penelitian yang sama, terutama dalam ilmu-ilmu sosial (paradigma anti-positivisme). Kalau ilmu alam, rasanya lebih mudah dibuktikan (paradigma positivisme).
Kebenaran yang belum bisa diraba oleh panca indera, logika akal dan budi, serta terkadang oleh hati manusia, yang mana kalau kita yakin itu benar, maka kita meng-iman-i kebenaran itu, tapi saat ini masih sulit dibuktikan dengan perangkat ilmiah yang ada. Pada wilayah ini, hanya iman yang berbicara, dan jangan didebat dengan perangkat duniawi seperti metodologi ilmiah, jadinya debat kusir.